Resep Carang Gesing

Tuesday, July 22, 2014

Kemarin, saya membuat Carang Gesing, kudapan berbahan dasar pisang. Sejujurnya, saya baru tahu ada makanan bernama Carang Gesing. Akhirnya setelah saya buat dan saya rasakan sendiri, ternyata enak juga rasanya. Ini bisa dijadikan alternatif olahan pisang selain kolak, setup, atau pisang goreng. :)

Resep ini saya dapatkan dari blog Mbak Veronica Dhani. Resep asli saya modifikasi karena ada bahan yang kebetulan tidak tersedia di dapur saya, juga karena saya belum mempunyai timbangan. Jadi, semua serba kira-kira. :)

Caranya mudah koq, makanya saya mau mencobanya. Maklum, baru belajar masak, jadi saya menghindari resep yang ribet.

Bahan:
  • Pisang tentu saja. Di resep Mbak Vero, yang kita butuhkan sebanyak 500gr. (Saya menggunakan sesisir pisang kepok kuning, dikurangi 4 buah untuk dimakan langsung)
  • 300 ml santan dari 1/2 butir kelapa ditambah 10 lembar daun suji. (Karena disini susah mendapatkan daun suji, jadi saya skip deh. 300 ml santan, saya pakai kira-kira sebanyak dua gelas kecil)
  • 75 gr gula pasir. (Saya kira-kira sendiri, kurang lebih 3 1/2 sdm)
  • 1 butir telur ayam
  • Daun pandan secukupnya. (Saya menggantinya dengan pasta pandan, kurang lebih 1/2 sdm)
  • 1/2 sdt garam (Ini saya tambahkan sendiri, supaya ada rasa gurih. Di resep Mbak Vero, garam tidak digunakan)

Cara Membuat:
  • Campur santan, garam dan gula pasir, aduk-aduk.
  • Masukkan telur, aduk-aduk hingga kuning telur pecah.
  • Masukkan pasta pandan.
  • Susun pisang yang telah diiris tipis-tipis ke dalam loyang atau pinggan tahan panas.
  • Tuangkan santan tadi ke dalam loyang berisi pisang. Usahakan pisang terendam.
  • Kukus sampai matang. Bisa disajikan panas atau dingin.
Selamat Mencoba :)



Read More

Puisi untuk Amay

Saturday, July 12, 2014

Kemarin tiba-tiba Amay berpuisi. Karena saya sedang mencuci, saya kurang bisa mendengar dan mengingat dengan jelas kalimat-kalimat yang ia keluarkan secara spontan. Mungkin jika berjudul, puisi Amay berjudul "Pintu". Satu kalimat yang saya ingat betul, adalah
"Aku takut sama Pintu"
Kalau dilihat dari kalimat itu, mungkin dia teringat ketika dua sepupunya menakut-nakutinya dengan pintu yang tiba-tiba terbuka. Padahal, pintu itu terbuka oleh angin.

Amay mengenal puisi sejak saya membelikannya sebuah buku berjudul "Serpih Biskuit" terbitan Tiga Serangkai. Puisi favoritnya adalah "Gubuk Reyot". Jika bertemu buku itu, ia akan meminta saya membacakan puisi-puisi di dalamnya, dan Gubuk Reyot mendapat kesempatan pertama.

Sebenarnya, saya kurang pandai menulis dan membaca puisi. Jika teringat masa-masa sekolah dulu, saya lemah hampir dalam semua bidang. Ilmu-ilmu eksak, jangan tanya pada saya. Bahkan, menuangkan sesuatu dalam bentuk bahasa pun saya tak bisa dan tak biasa. Satu-satunya nilai 9 yang saya dapatkan dengan mudah adalah pelajaran Seni Musik. Bukan karena saya pandai memainkan alat musik, tetapi karena saya saat itu terpilih untuk bergabung dalam Paduan Suara sekolah. Soal suara, pas-pasan. Namun menyanyi adalah hobi.

Nah, karena menyadari bahwa Amay memiliki ketertarikan dengan puisi, saya ingin mengenalkan beberapa bait sederhana untuknya. Tentunya karena berbagai keterbatasan yang saya miliki dan telah saya sadari, saya hanya meniru puisi yang diajarkan kakak saya pada anak-anak didiknya di PAUD.

Tuhanku

Tuhanku hanya satu
Tidak ber-ayah, tidak ber-ibu
Pencipta alam semesta
Langit, bumi, dan seisinya
Aku bersujud kepada-Nya





Read More

Quick Count? Aku Tak Peduli

Friday, July 11, 2014

Saat pulang kampung untuk Pilpres kemarin, saya bertemu dengan seorang tetangga yang pulang dari "repek" atau mencari kayu bakar untuk memasak. Saya berujar pada bapak, "Di jaman serba cepat kayak sekarang, kok masih ada yang repek ya, Pak?" Lalu jawab beliau, "Lha daripada buat beli gas, mahal, mending uangnya buat yang lain." Padahal memasak dengan tungku kayu bakar, jauh lebih susah dan lebih lama. Untuk membuat apinya menyala dengan baik saja butuh perjuangan yang bagi saya tak mudah. Saya membayangkan hidupnya dengan hidup saya sendiri. Mulai dari hal terkecil -menyalakan api-, hingga kecepatan memperoleh beragam informasi.

Pikiran saya pun masih terpaku pada tetangga saya itu. Apa saja yang ada di dalam benaknya ya? Tidakkah dia tahu bahwa ada dunia lain selain dunia nyata yang sedang ia titi? Pedulikah ia dengan pilpres yang baru saja ia jalani? Mengertikah ia dengan quick count, real count, KPU, atau apalah tetek bengek yang menyertai pemilu?

Ah, kadang saya berpikir, mungkin lebih enak menjalani hidup dengan ketidaktahuan. Mungkin lebih baik saya ikutan plonga-plongo saja menghadapi apa yang sedang ramai dibicarakan baik di dunia nyata maupun dunia maya. Mungkin lebih baik saya perbanyak baca Al-Qur'an saja daripada ikut-ikutan membaca media yang perlu diragukan sisi kenetralannya. Toh, manfaatnya akan lebih banyak saya rasakan sendiri. Untuk apa menekuni media yang justru menyulut prasangka? Untuk apa ikut-ikutan menyebar berita yang belum diketahui kebenarannya secara pasti. Khawatirnya, jika berita yang saya sebar mengandung fitnah, saya akan kecipratan dosanya. Duh, dosa yang sudah saya perbuat secara sengaja saja sudah menumpuk entah berapa bukit.

Akan halnya Pilpres, saya tidak sepenuhnya cuek. Saya telah menganalisa, menimbang, kemudian memutuskan mana yang bagi saya pantas memimpin negeri ini. Saya pun telah menunaikan "tugas" saya sebagai warga negara untuk ikut ambil bagian dalam menentukan masa depan bangsa ini di tanggal 9 Juli kemarin. Siapa yang akan menjadi Presiden nanti, itu sepenuhnya hak Allah. Dia telah menentukan, dan quick count bukanlah standar. Siapa Presiden Indonesia nanti, sudah ditetapkan takdirnya jauh-jauh hari, bahkan sebelum kita ada di bumi ini. Saya pribadi tetap akan legowo jika nantinya yang terpilih bukanlah Presiden pilihan saya. 

Dan mulai hari ini, saya akan menyibukkan diri dengan urusan yang lebih bermanfaat. Bukan hanya untuk mempertajam debat. Hidup ini amatlah singkat, maka sia-sia saja adu mulut sampai keluar urat. Apa yang kita lihat, kita dengar, kita pikirkan, dan kita lakukan, bukankah ada pertanggungjawabannya di akhirat? :)
Read More

4 Unsur dalam Ibadah

Saturday, July 5, 2014

Bulan Ramadhan tiba, kaum muslimin dan muslimat berbondong-bondong mengumpulkan pahala. Sejatinya, bulan yang istimewa ini merupakan bulan latihan untuk sebelas bulan berikutnya. Kita dibiasakan untuk bangun di sepertiga malam yang terakhir melalui sunnah sahur. Kita dilatih untuk giat berdzikir, shalat sunnah (tarawih), menahan nafsu amarah, menahan godaan syahwat, juga menahan lapar dan dahaga melalui puasa agar kita bisa ikut merasakan apa yang fakir miskin rasakan.

Sebenarnya, tidak hanya manusia saja yang berpuasa. Binatang pun melakukannya. Ular dan ulat adalah dua contohnya. Jika ular melakukan puasanya ketika ingin berganti kulit, ulat berpuasa ketika ia akan bermetamorfosis menjadi bentuk baru yang lebih indah yaitu kupu-kupu. Lalu seperti apakah puasa kita? Apakah hanya seperti ular, yang berganti baju baru di hari Lebaran? Ataukah seperti ulat, yang tadinya merupakan binatang yang menjijikkan, kemudian berubah menjadi kupu-kupu yang indah warnanya? Semua itu tergantung dari apa yang kita lakukan selama bulan mulia ini berlangsung.

Lalu bagaimana supaya kita bisa beribadah dengan baik? Ada empat unsur dalam ibadah yang sepatutnya kita ketahui terlebih dahulu supaya ibadah kita menjadi maksimal. Empat unsur tersebut antara lain;

1. Ilmu
Ibadah tanpa ilmu, tentu tak ada gunanya. Sama halnya dengan sedang memegang kalkulator untuk berhitung, namun tak bisa membaca angka. Percuma.

2. Niat
Ada sebuah hadits berbunyi, "innamal a'malu binniyaat", sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Niat bisa dilafadzkan, namun bisa juga disuarakan dalam hati.

3. Sabar
Semua ibadah memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Dalam puasa, kita diajarkan untuk bersabar menahan lapar dan haus sejak terbit hingga terbenamnya matahari. Dalam tarawih, kita diajarkan untuk bersabar menahan lelah dalam mendirikan shalat hingga 8 atau 20 rakaat. Dalam sahur, kita diajarkan untuk bersabar melawan rasa kantuk. Dalam bersedekah kita diajarkan untuk bersabar melepas apa yang menjadi milik kita. Semua ibadah, membutuhkan kesabaran untuk melakukannya.

4. Ikhlas
Inilah penentu akhir, dan menjadi tolok ukur bagaimana kualitas ibadah kita. Tanpa keikhlasan, semua sia-sia.


Read More