Showing posts with label Portofolio. Show all posts
Showing posts with label Portofolio. Show all posts

Jon Koplo di Rubrik "Ah Tenane" Solopos

Friday, October 28, 2016

Setelah sekian lama tidak menulis untuk media cetak, akhirnya minggu lalu saya melakukannya lagi, karena kerinduan untuk bisa mendapat uang dengan lebih cepat telah sampai di ubun-ubun. *Hihihi, mulai matre...* Pilihan saya tepat, karena dengan mengirim tulisan ke media Harian, maka kemungkinan tulisan itu untuk dimuat akan lebih besar.

Bersyukur sekali, tulisan yang saya kirim di hari Jum'at, dimuat satu hari berikutnya. Tepatnya, di Sabtu, 22 Oktober 2016. Padahal prediksi saya, jika dimuat, tulisan itu akan muncul di minggu berikutnya, entah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at atau Sabtu. Dan syukur Alhamdulillah sekali, tulisan saya masih memenuhi kriteria Solopos. Itu cukup membuat bahagia dan mengobati rasa kecewa. Iya, ada sedikit drama yang terjadi sebelumnya, dan kabar dimuatnya Jon Koplo saya, sangat menghibur hati saya yang sedang lara.


Lalu, tulisan macam apakah yang saya buat? Ini hanya kisah lucu-lucuan saja sih. Kisah nyata yang terjadi sekitar 8-10 tahun yang lalu, saat saya masih di Bogor. Lady Cempluk ini adalah Bulik Anna (adik ibu saya yang baik hatinya, tempat saya menumpang selama kuliah dan bekerja di Bogor). Jon Koplo adalah Naufal, adik sepupu saya, yang juga akrab dipanggil Jo alias Paijo . Gendhuk Nicole adalah Fira, sepupu saya yang merupakan kakak dari Naufal.

Kisahnya kurang lebih sama, hanya saya edit bahasanya, karena tulisan ini menyesuaikan dengan karakter di rubrik "Ah Tenane" yang kerap menyisipkan dialog dalam Bahasa Jawa.

Jon Koplo di Rubrik "Ah Tenane", Solopos

Inilah kisah selengkapnya:

Berbagi

Jon Koplo meminta uang pada ibunya, Lady Cempluk, untuk membeli makanan ringan. Saat makan makanan tersebut, Gendhuk Nicole, kakak perempuannya, menghampiri.

Maem apa kuwi?" tanya Nicole pada adiknya yang baru duduk di kelas TK B itu.

Karena Jon Koplo tak menjawab, Nicole pun to the point saja. "Aku nyuwun," pintanya. Namun, Jon Koplo tak mau membagi makanannya itu, meski dia masih memiliki satu bungkus lainnya.

Karena tak ingin melihat pertengkaran, Cempluk pun menasehati Jon Koplo. "Mbak Nicole diparingi to, Le. Yen seneng berbagi, mengko rezekine tambah akeh."

Bagi Jon Koplo yang baru berusia lima tahun, rezeki artinya uang. Awalnya Jon Koplo tak percaya, tapi karena iming-iming rezeki berganda itu, akhirnya ia mau membagi sedikit makanannya. “Ibu, nggak bohong, to?” tanya Jon Koplo pada ibunya.

Yang ditanya ragu, dan akhirnya berkata, “Ya kalau nggak sekarang, akan diganti di masa yang akan datang.”

Merasa bahwa sang ibu seolah memperalatnya, dengan sedikit kesal Jon Koplo membuka satu bungkus makanannya yang lain.

Matanya kemudian berbinar, ada sesuatu di dalam bungkus makanan itu, yang dibungkus plastik dan dilapisi perekat.
“Ha, iki apa ya?” Jon Koplo penasaran.
“Wah, duit! Horeee...” Jon Koplo girang karena menemukan uang lima ribuan.

Dalam hati Cempluk lega, karena Tuhan dengan cepat mengganti kebaikan anaknya, sehingga Jon Koplo percaya dengan nasihatnya. “Lho, rak tenan, yen seneng berbagi kuwi rezekine dadi akeh.”

~~~

tulisan di atas adalah naskah asli sebelum mengalami proses pengeditan di meja redaksi. 

Baca juga kisah Jon Koplo saya lainnya di: Aja Kesusu

Begitulah...

Ada yang ingin mencoba mengirim kisah seru ke Solopos juga? Caranya gampang koq. Untuk rubrik "Ah Tenane", tulislah kisah nyata sepanjang kira-kira 150 kata saja, lalu kirim ke email Solopos: redaksi@solopos.co.id atau redaksi@solopos.com

Ada imbalannya koq. Lumayan, buat beli bakso insya Allah cukup. 

Read More

Cilok Setengah Juta, Dimuat di Gado-Gado Majalah Femina

Sunday, July 3, 2016


Sebut saya norak. Hehe... Tapi saya memang sedang norak-norak bergembira. Apa pasal? Setelah perjuangan yang paaannnjjaaannggg dan laaammmmaaaa, akhirnya saya bisa menakhlukkan satu media besar itu. Iyap, tulisan saya akhirnya bisa nangkring di rubrik Gado-Gado Majalah Femina.

Majalah Femina, foto oleh Mbak Rien DJ

Selama ini saya hanya bisa iri, melihat tulisan teman-teman muncul di rubrik itu. Ini bukan soal honor yang memang cukup besar dibanding media yang lainnya ya, tapi ini soal mengukur kemampuan diri. Bisakah saya seperti teman-teman lain?

Memang, tulisan saya sebelumnya sudah pernah nangkring di beberapa media cetak seperti Jawa Pos dan Solo Pos. Ada yang mau baca? Ini tulisan saya di Jawa Pos untuk rubrik Gagasan: Bersahabat dengan Bumbu Dapur, dan ini salah satu cerita lucu saya yang dimuat di Rubrik Ah Tenane, Solo Pos, yang menggunakan tokoh utama bernama Jon Koplo.

Tak hanya itu, cerita lucu tentang Amay pun pernah saya kirimkan ke Majalah Reader's Digest Indonesia, yang masih satu grup dengan Majalah Femina. Sayangnya, sejak Oktober 2015 lalu, majalah ini hanya bisa kita baca dalam versi digital. :(

Haha Hihi di Reader's Digest Indonesia

Menulis untuk Majalah Femina ini cukup sulit bagi saya, karena hingga belasan kali mengirim tulisan, nyatanya saya kurang bisa menangkap selera Majalah ini. Belasan ide, belasan judul sudah saya kirimkan, namun tak satu pun berhasil memenuhi syarat. Padahal untuk media lain, terkadang 1-2 kali kirim saja, Alhamdulillah tulisan saya bisa sesuai dengan karakter mereka.

Baca Tiada Alasan Tak Menanam, tulisan saya yang dimuat di Majalah Ummi. Juga, Do'a yang Dinantikan, yang dimuat di Majalah Hadila.

Dan tibalah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya dihubungi oleh Mbak Ratna dari Femina melalui SMS, yang menanyakan apakah tulisan saya berjudul "Cilok Setengah Juta" adalah karya asli saya dan belum pernah diterbitkan? Alhamdulillah, secercah harapan muncul. Saya tidak bisa berhenti tersenyum. Saya pun mengirimkan berkas-berkas yang diminta, via email dan via pos. 

Dan hari itu tiba. Hari dimana tulisan saya muncul di edisi 25 tahun 2016. Rasanya penasaran. Persis seperti seorang ibu yang hendak melahirkan, seperti apa rupa anakku?

Tapi rasa penasaran itu mesti ditahan, karena saya belum bisa menemukan majalah itu di tukang koran sekitaran Colomadu, Karanganyar. Hiks... Mau ke toko buku, tapi suami belum sempat mengantar. Iya, saya kemana-mana memang mesti sama beliau, hehe... Tapi Alhamdulillah, Allah menolong saya melalui tangan Mbak Saptorini alias Mbak Rien DJ yang bersedia mencarikan majalah itu di toko langganannya. Alhamdulillah Alhamdulillah.. :)

Hingga kini sebenarnya saya belum melihat secara langsung bagaimana penampakan tulisan saya, karena majalahnya masih di Mbak Rien. Tapi saya cukup puas, melihat judul besar yang terpampang disana, dan nama saya yang tertulis di ujung kanan bawah. :)

tulisan saya di Gado-Gado Femina


Buat yang penasaran, ini adalah tulisan saya, versi asli yang saya kirimkan tanggal 5 Januari 2016. 

Cilok Setengah Juta

“Mas, mau udang, boleh?” pinta saya.
“Tapi dirimu kan alergi udang. Jangan aneh-aneh, ah!” Jawab suami saya, tegas.
Tapi karena tak tahan melihat wajah saya yang begitu ingin menyantap makanan itu, suami saya akhirnya mengambilkan setusuk sate udang untuk saya yang sedang hamil muda, lengkap dengan segelas susu dan air kelapa muda. Dua minuman itu untuk penawar racun, katanya. 
Ajaib, kondisi hamil membuat saya tak pantang memakan makanan yang biasanya menimbulkan gatal di sekujur tubuh itu. Tanpa meminum susu dan air kelapa muda pun, tubuh saya tidak mengalami reaksi alergi. Anehnya, setelah bayi saya lahir, saya kembali alergi dengan udang, kepiting, dan makanan laut lainnya.

Kebanyakan ibu-ibu yang sedang hamil muda memang mengalami yang namanya ngidam. Bahkan pertanyaan “ngidam apa nih?”, termasuk yang paling sering dilontarkan.
Orang ngidam itu macam-macam. Ada yang ingin melakukan sesuatu yang biasanya terdengar aneh, ada juga yang ingin makan makanan yang tak biasa.
Tetangga saya, saat hamil hanya ingin makan sayur nangka muda (sayur gori) saja. Dan jika dia sudah memasaknya, orang lain tidak boleh ada yang ikut mencicipi. Haha, lucu sih kedengarannya, timbang sayur gori doang. Tapi itu nyata, dan dia selalu tertawa jika mengingatnya.
Salah satu orang tua murid di sekolah anak saya lain lagi, saat hamil dia tidak suka memakai alas kaki. Entah itu sandal atau sepatu. Dan kini anaknya berperilaku persis seperti sang ibu. Kalau kami sedang menjemput anak-anak saat pulang sekolah, biasanya anak ini langsung berlari ke arah ibunya sambil menjinjing sepatu dengan kedua tangannya. Malah pernah, disaat anak-anak lain sedang berdo'a di dalam kelas, dia berlari keluar sambil menjinjing sepatunya menuju sang ibu yang menunggunya, kemudian dia kembali lagi ke kelasnya dan melanjutkan berdo'a sebelum pulang.
“Yang paling awet dari anak ini tuh, sepatunya. Gimana enggak, dipakainya cuma pas berangkat aja.” Kata si ibu sembari tertawa. Terkadang memang kebiasaan kita saat hamil terbawa oleh anak kita.

Berbeda dengan tetangga dan ibu dari teman anak saya tadi, saya pun mengalami ngidam yang aneh saat hamil anak pertama. Selain jadi kebal terhadap udang, tiba-tiba saya merasa sangat ingin makan cilok. Ini gara-gara sebuah tayangan televisi yang sedang menayangkan makanan-makanan lezat berbahan aci. Hmmm, tampaknya ibu hamil mesti berhati-hati ketika menonton televisi, karena bisa-bisa perasaan ngidam muncul tiba-tiba setelah melihat sebuah tayangan. J
Maka ketika mama mertua telepon dan bertanya kondisi kehamilan saya, saya mengatakan bahwa saya ingin sekali makan cilok. Demi calon cucunya, beliau sampai menelepon kenalannya di Solo untuk menanyakan dimana kira-kira penjual cilok berada, karena saat itu saya dan suami memang baru dua bulan tinggal di kota Bengawan itu, sehingga belum paham tempat-tempat jajanan. Dan sialnya, saat itu bulan puasa sehingga pedagang cilok yang biasa mangkal di sekolah-sekolah libur berjualan.
Akhirnya, karena hasrat makan cilok tak kunjung terpenuhi, mama mertua datang mengunjungi kami. Beliau bersama dua adik ipar datang ke Solo dengan menumpang travel dari Purwokerto. Kebetulan saat itu ayah mertua sedang dinas di Bumiayu.
Ketika datang, beliau membawakan saya cilok, lengkap dengan bumbu kacang, saos dan kecap.
Sambil menyuruh saya menyantap oleh-oleh paling spesial itu, beliau berkata, "Ini cilok istimewa ya, Rin, soalnya harganya setengah juta." Haha..seketika itu kami semua tertawa. Iya, harganya setengah juta karena ongkos travel dari Purwokerto ke Solo untuk 3 orang hampir setengah juta. Ada-ada saja. J


*tulisan yang terdapat di Majalah Femina, telah mengalami sedikit pengeditan. :)


Read More

Do'a yang Dinantikan

Saturday, February 20, 2016

Pagi itu saya terburu-buru menyiapkan si sulung yang akan berangkat sekolah di TKIT dekat rumah. Jam dinding sudah menunjuk angka tujuh lewat dua puluh menit, padahal pelajaran akan dimulai sepuluh menit kemudian.
Si bungsu yang baru berusia satu tahun saya serahkan pada suami, dan biasanya setelah itu kami akan beralih posisi. Suami mengantarkan si sulung ke sekolah, dan saya akan kembali memegang si bungsu.
Hari itu, karena suami ada tugas tambahan di kantor, saya menjadi tergesa-gesa menyiapkan semuanya. Setelah menyuapi dan memandikan si sulung, saya pun segera memakaikannya seragam. Karena terburu-buru, saya pun melupakan sebuah "ritual". Saya baru mengingatnya setelah si sulung mengingatkan, "Mas Amay kok nggak dido'akan?"
"Ah iya, Mama lupa," jawab saya, dan sejurus kemudian saya pun melakukan hal yang saya sebut ritual itu. Bibir saya kemudian mengucap do'a-do'a untuk kebaikannya dan kebaikan adiknya.
Saya kemudian iseng bertanya, "Memangnya Mas Amay suka kalau Mama do'akan?" Dan jawabannya membuat saya termenung cukup lama. Ternyata, kebiasaan saya berdo'a setiap kali memakaikan mereka baju selalu diingat, dan hari itu saya menjadi tahu bahwa do'a-do'a saya dirindukan.
Dalam sehari, setidaknya empat kali saya mengucap do'a ini diluar waktu shalat. Empat waktu itu adalah saat memakaikan baju si sulung dan si bungsu, pagi dan sore. Karena seringnya, si sulung sampai hapal kata-kata dalam do'a saya yang saya lantunkan dalam Bahasa Indonesia.
Entah sejak kapan saya memulai ritual ini. Jika saya tak salah mengingat, saya memulainya ketika saya menyadari bahwa apa yang keluar dari bibir saya sebagai seorang ibu, akan berpengaruh pada kehidupan anak-anak kelak. Sejak itu saya mulai berhati-hati dalam berucap, karena saya meyakini bahwa setiap ucapan adalah do'a, sehingga saya berusaha untuk selalu mengatakan hal-hal yang baik tentang mereka.
Terlebih ketika saya membaca kisah Syaikh Abdurrahman as Sudais. Imam besar itu ketika kecil "dikutuk" oleh sang ibu hingga dapat menjadi seperti saat ini. Konon saat itu sang ibu sedang menjamu tamu-tamunya, namun Sudais kecil mengacaukannya setelah menaburkan debu pasir ke atas hidangan yang sudah disiapkan oleh ibunya untuk para tamu. Sang ibu marah sambil berkata, "Pergi kamu! Biar kamu jadi imam di Haramain!" Dari kisah itu saya kemudian belajar bahwa saat marah pun kita harus mengucapkan hal-hal yang baik.
Saat di dunia, anak membutuhkan do'a dari orang tuanya, terutama do'a seorang ibu. Dan saat di akhirat, orang tua lah yang membutuhkan do'a anak-anaknya.

~-~

Tulisan ini dimuat di Majalah Hadila edisi bulan Januari 2016



Read More

Tiada Alasan Tak Menanam

Tuesday, June 2, 2015

Suatu hari, saat keluarga besar berkumpul di rumah bapak, keponakan kecil kami kehilangan wajah cerianya. Batuk, pilek, demam, membuatnya rewel sepanjang hari. Semua makanan ia tolak. Tiba-tiba suami teringat khasiat air kelapa muda. Segera saya meminta tolong pada bapak untuk memetik kelapa muda yang ada di belakang rumah.

Beberapa saat setelah meminum air kelapa muda, panas badan keponakan kami berangsur normal. Senyum sudah kembali menghiasi wajahnya yang mungil. Ia pun mulai tertarik untuk makan.

"Alhamdulillah," seru semua yang ada di rumah. Saya kemudian berkata, "Nanti kalau sudah punya rumah, aku mau menanam pohon kelapa, ah!" Langsung ditimpali oleh bapak, "Ya, harus itu!" Dari nada suara yang terdengar serius, ucapan bapak seolah menyiratkan bahwa menanam pohon kelapa adalah sebuah kewajiban.

Untuk urusan tanam-menanam, saya memang terinspirasi dari bapak dan ibu. Mereka tidak hanya menanam buah-buahan seperti mangga, pisang, rambutan, jambu, atau belimbing, namun juga tanaman hias. Beberapa kali tanaman hias yang ibu tanam dibeli orang untuk dekorasi walimah. Kami juga bisa berhemat karena dapat menikmati buah-buahan saat musimnya tiba, sepuasnya, tanpa harus membeli.

Saya jadi teringat ketika beberapa tahun lalu harga kelapa di kota kami melambung tinggi. "Kok bisa, ya?" tanya saya yang kemudian dijawab ibu, "Karena kita mulai malas menanam." Serupa dengan kejadian hilangnya jahe di pasaran yang membuat harganya meroket, juga cabai dan tomat. Padahal, menanam cabai, tomat, jahe, bahkan kelapa sekalipun, tak membutuhkan perawatan yang rumit.

Jika ada yang enggan menanam karena alasan lahan yang sempit, hal ini bisa kita maklumi untuk pohon semacam kelapa dan buah-buahan. Namun hal itu tidak berlaku untuk tanaman semisal cabai, tomat, juga empon-empon seperti jahe. Saya sudah membuktikannya sendiri.

Saya menggunakan plastik kemasan gula pasir atau minyak goreng. Plastik itu saya isi dengan tanah, lalu saya tusuk-tusuk di beberapa bagian untuk sirkulasi udara dan air. Kemudian, saya sebar biji cabai atau tomat yang telah membusuk di tanah tersebut. Sesederhana itu.

Beberapa bulan kemudian, hasilnya akan kita tuai. Rasanya sangat nikmat ketika bisa menikmati makanan dari kebun sendiri. Kita juga bisa mengurangi sampah plastik dengan menggunakannya kembali sebagai media tanam.

Jadi, tidak ada alasan tak menanam, kan? Apalagi manfaatnya akan kembali pada kita.


*Tulisan ini dimuat di majalah Ummi edisi Desember 2014
Read More

Sharing Pengalaman Menghasilkan Uang (2)

Thursday, October 23, 2014

Sebelumnya saya telah menulis tentang Sharing Pengalaman Menghasilkan Uang bagian 1 disini. Sekedar berbagi, bahwa dari kisah yang terjadi sehari-hari, asalkan kita peka menangkapnya menjadi sebuah momen berarti, kemudian menuliskannya, maka akan menjadi rezeki untuk kita.
Inilah yang saya lakukan. Setelah belajar menjadi penulis Jon Koplo (julukan yang diberikan oleh suami karena beberapa kali tulisan saya dimuat di rubrik “Ah Tenane” Solopos), saya pun menuliskan kisah lucu lainnya ke media yang lain. Kali ini Reader’s Digest lah sasarannya.
Cerita lucu saya yang dimuat disana bercerita tentang kelucuan Amay, putra pertama saya. Anak itu sedang lucu-lucunya kalau bicara. Kadang memang saya tuliskan di status facebook, tapi ada juga yang saya kirim ke media.
Ada tiga rubrik yang bisa disasar disana, yaitu Humoria, HahaHihi, kemudian 9 to 5. Untuk rubrik terakhir, yaitu 9 to 5, lebih dikhususkan untuk candaan yang terjadi di tempat kerja. Untuk lebih jelasnya, supaya ada bayangan tulisan-tulisan yang dimuat disana, teman-teman bisa membeli majalah ini dengan harga Rp 25.000,-. Majalah ini terbit bulanan yaa..
Pokoknya, kalau teman-teman punya kisah lucu, menggelikan, atau memalukan, kirim saja ke RDI (Reader’s Digest Indonesia). Syaratnya, tidak lebih dari 100 kata, dan cerita belum pernah dipublikasikan. Imbalannya, lebih besar dari yang “itu”. Dua kali lipatnya, tapi itu nilai sebelum dipotong pajak dan biaya transfer yaa.. Yah, pokoknya lumayan besar lah.
Oya, asiknya, majalah ini profesional sekali. Apabila kisah kita dimuat, kita akan mendapatkan bukti terbitnya, dilampiri sebuah surat yang bisa kita isi untuk pengiriman honor. Jadi nggak perlu nagih-nagih lagi. Asik kan?
Jadi tunggu apa lagi? Ayo ingat-ingat peristiwa lucu yang pernah teman-teman alami, tulis, lalu kirimkan ke alamat email Redaksi Reader’s Digest Indonesia: editor.rd@feminagroup.com
Read More

Jodoh Pasti Bertemu

Friday, October 3, 2014

Pernah denger lagunya Kangmas Afgan yang judulnya “Jodoh Pasti Bertemu” kan? Percaya atau tidak? Katanya, jodoh harus dikejar. Jadi, percaya yang mana nih? Menunggu atau mencari? Hehe.. Saya sih percaya dua-duanya.

E tapi, jodoh itu nggak cuma soal PH alias pendamping hidup loh. Cari tanah atau rumah, juga tergantung jodoh. Kalau nggak berjodoh, mau punya uang sebanyak apa juga nggak akan termiliki. Sama aja dengan, jatuh cinta dengan rumah yang kayak gimana, tapi kalau uangnya nggak ada juga cuma bisa gigit jari. *Eh, lha koq jadi curhat? :p

Pekerjaan pun begitu. Dan masih banyak hal lainnya yang tergantung jodoh, termasuk tulisan. Kalau teman-teman menggeluti dunia tulis-menulis, pasti sudah paham lah ya...

Saya mengalaminya. Sebagai penulis pemula, benar-benar pemula, saya belajar dari banyak orang. Kata teman-teman, yang perlu kita lakukan untuk menjadi penulis adalah, menulis, menulis, dan menulis, lalu membaca. Kalau membaca, itu memang hobi saya. Tapi menulis, meskipun bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang remeh temeh, bagi saya ini adalah kegiatan yang susah susah gampang. Iya, karena saya masih sering merasa kesulitan untuk menuangkan apa yang saya pikirkan menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca.


Singkatnya, suatu hari muncullah sebuah ide di kepala untuk dijadikan cerita pendek. Nah, penyakit saya adalah, sulit menciptakan ending yang berkesan. Tapi entah mengapa kali itu saya mengeksekusi dengan cukup mudah. Mungkin karena ini cerita anak, dan saya terbiasa mengarang cerita untuk Amay, jadi sedikit mudah bagi saya menyelesaikan ceritanya. 

Saya pun merasa percaya diri untuk mengirimkan cernak saya itu ke sebuah koran. Menurut saya, cerita yang saya buat memiliki amanah atau pesan yang positif untuk membangun karakter seorang anak. Menurut saya loh yaa...dan karena itu saya pun harap-harap cemas menanti kabar dari koran tadi. Cerita saya kirimkan melalui email. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, saya setia menanti kabar. Namun, tidak juga ada tanggapan. Saya pun menanyakan nasib naskah cernak saya tadi, akan tetapi sayangnya pihak koran tersebut kurang interaktif. Email saya didiamkan, hiks hiks. Lalu apakah saya menyerah? No!! Saya kembali mengirimkan email ke koran tersebut, namun kali ini isinya tentang niat saya menarik kembali naskah yang telah saya kirim.

Baiklah, akhirnya saya kabur dari koran tadi. Huhuhu, tahu kan rasanya dicuekin? Tapi ya, bukan Arin namanya kalau langsung menyerah. Berbekal rasa percaya diri bahwa cernak yang saya buat itu bagus, wehehehe, akhirnya saya kembali mengirimkannya. Kali ini ke sebuah lomba. Ups, tapi ternyata ada batasan karakter di persyaratannya. Ya, terpaksa deh, mengedit lagi. Saya potong beberapa bagian, dan saya efektifkan kalimat demi kalimat di dalamnya, sehingga cerita anak yang tadinya sepanjang empat halaman, kini menjadi dua halaman saja. Mudahkah? Tentu tidak! Saya butuh waktu seminggu hingga akhirnya benar-benar mantap untuk mengirimkan naskah itu ke email panitia lomba.

Wis, saat itu saya cuma bisa berdo'a lalu pasrah. Tiba di hari pengumuman yang dijanjikan, ternyata panitia mengumumkan bahwa pengumuman pemenang diundur satu bulan karena jumlah naskah yang masuk lebih dari 1000. Wow, makin jiper saya. Apalagi saya tahu bahwa saingan-saingan saya beuraaattt... Rata-rata mereka adalah penulis yang sudah sering nangkring di majalah anak. 

Saya terus berdo'a. Masih ada satu bulan kan untuk melangitkan harapan? Dan Alhamdulillah, di hari yang dijanjikan, pemenang pun diumumkan. Saya termasuk di dalamnya, meskipun hanya juara harapan. Hehe...akhirnya, keyakinan saya terbukti. Tulisan saya ada pesan moralnya, dan layak untuk ditampilkan. Ini kembali meningkatkan rasa percaya diri.

Selanjutnya, saya masih menunggu jawaban dari naskah-naskah yang telah saya tulis dan saya kirimkan. Saya tahu di luar sana persaingan teramat ketat. Banyak penulis yang bermunculan dengan ide dan karya-karya yang luar biasa. Tapi kalau saya tidak bertekad untuk menang dari mereka, ya saya akan begini-begini saja. Iya kan? :D


Read More

Sharing Pengalaman, Menghasilkan Uang?

Monday, September 8, 2014

Membaca judul di atas, mungkin sebgaian orang akan bereaksi dengan mengerutkan dahi. Tapi inilah yang saya alami.

Berawal dari informasi yang saya dapat dari seorang teman, saya pun tertantang untuk mencoba. Suatu hari, seorang teman mengungkapkan syukurnya karena pengalamannya yang ia kirim ke sebuah media beberapa waktu sebelumnya berhasil dimuat. Ia pun membagi ilmu pada saya yang ingin tahu.

Media itu bernama SOLOPOS. Bagi teman-teman yang tinggal di seputaran Solo pasti tahu. Kantornya terletak di Jalan Adisucipto. Lalu, pengalaman seperti apa yang berhasil membuat saya bangga?

Adalah rubrik "Ah Tenane" dengan tokoh utama bernama Jon Koplo dan Lady Cempluk. Terkadang ada juga nama lain yang muncul, yaitu Genduk Nicole dan Tom Gembus. Nama-nama yang dipakai memang njawani sekaligus modern. Nama inilah yang biasa dipakai sebagai nama samaran bagi pengirim cerita.

Pengalaman yang dimuat disana biasanya berisi pengalaman lucu, konyol, atau sedikit memalukan hingga memilukan. Pokoknya, yang bisa membuat orang bertanya, "Ah, tenane?" Entah berapa kali saya mengirimkan cerita pengalaman saya kesana. Yang jelas, telah tiga kali cerita saya dimuat disana, sejak April hingga Agustus. Dari cerita pertama, saya mendapatkan sebuah wesel bernilai Rp 65 ribu (memang jika honor dikirim via wesel, nilainya akan dikurangi Rp 10 ribu). Kemudian dari dua cerita terakhir, saya mendapatkan transferan ke rekening sebesar Rp 150 ribu. Karena seringnya cerita saya dimuat di rubrik Jon Koplo ini, suami saya sampai menjuluki saya "Penulis Jon Koplo", hehehe...

Bagi sebagian orang, Rp 65 ribu atau Rp 75 ribu mungkin tak besar. Tapi percayalah, ini yang saya lakukan sebagai latihan untuk menulis. Menulis kemudian dimuat oleh sebuah media, bagi saya bisa meningkatkan rasa percaya diri. Toh, sekecil apapun nilai uangnya, tidak ada yang tidak berguna, bukan? 

Nah, inilah contoh cerita saya yang dimuat di rubrik "Ah Tenane". Saya kirim di bulan puasa lalu. Mungkin karena momennya pas, dimuat di bulan itu juga. Masa tunggu tidak bisa diperkirakan. Bisa sehari, seminggu, bahkan sebulan atau dua bulan. :)

Ojo Kesusu

Suatu hari di bulan Ramadhan, Lady Cempluk berkutat di dapur untuk menyiapkan buka puasa. Ia kemudian mendatangi suaminya, Jon Koplo, sambil menyerahkan sekaleng susu kental manis berwarna putih. "Pak, tulung dibukakke. Arep tak gawe nyiram es buah." ujarnya.
Jon Koplo pun beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil sebuah alat yang biasa digunakan untuk melubangi kaleng susu. Setelahnya, ia kembali duduk di tempatnya semula dan mulai beraksi.
Mungkin karena tekanan dari alatnya atau mungkin juga karena isinya terlalu penuh, maka ada susu yang ndlewer keluar. Dengan sigap tangan Jon Koplo mengusap tumpahan susu tadi, kemudian menjilatnya.
"Lho Pak, emange wis adzan opo?" tanya Cempluk.
"Oalah, lali, haha... Rejeki iki." Ujar Jon Koplo, menyadari bahwa waktu berbuka sebenarnya belum tiba.
"Walah. Sabar, Pak. Ojo kesusu!" Cempluk pun ikut menertawai suaminya.

Selamat mencoba yaa..
Oya, untuk ceritanya bisa ditulis sepanjang 100-150 kata. Berisi pengalaman nyata pribadi atau orang lain. Dikirim ke alamat email redaksi@solopos.com atau redaksi@solopos.co.id. Jangan lupa sertakan alamat lengkap dan juga nomor rekening. 





Read More