The First Letters He Had To Learn

Thursday, May 23, 2013



Akhir Desember 2012 yang lalu, saya dan keluarga berkesempatan mengunjungi kota Bogor, kota yang saya anggap sebagai kampung kedua saya setelah Purworejo. Disana saya meluangkan waktu untuk menemui teman-teman seperjuangan saya ketika dulu mengajar di sebuah TK bernama Happy Bee Preschool And Kindergarten di Ciomas, Bogor. Teman-teman ini sudah seperti keluarga kedua bagi saya. Pada mereka saya berbagi suka dan duka.




Pada pertemuan itu, seorang teman bernama Nenden Hoerunisa Pujarani, partner saya di kelas kala itu, membawakan sesuatu untuk Amay, putra pertama saya. Sebuah gunting yang disesuaikan dengan usia Amay yang belum genap 2 tahun saat itu, juga kertas Origami. Duh, naluri ibu guru banget, hehe…




Setelah beberapa bulan terongggok, hari ini mendadak muncul ide saya untuk membuatkan Amay huruf-huruf hijaiyyah. Memang hanya beberapa kali saya menggunakan dua benda itu, ketika saya kehabisan ide, mau main apa lagi Amay hari ini?

Ide untuk membuat huruf hijaiyyah muncul pada saat saya sedang memasak, hehe, sehingga di sela-sela memasak saya pun menyiapkan peralatannya. Saya rasa keputusan untuk membuat huruf hijaiyyah dari Origami ini adalah keputusan ter-arif, supaya sang pemberi pun mendapatkan manfaat. Bukankah dari kertas pemberiannyalah anak saya akan mempelajari step awal dalam membaca Al-Qur’an? Do’a saya, semoga ini bisa menjadi amal jariyah untuk Miss Nenden. Harapan saya pun, semoga Amay menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Karena menurut saya, kebisaan membaca Al-Qur’an adalah mutlak, tidak dapat ditawar lagi bagi seorang Muslim.

Nah, tiba waktunya menuangkan ide segar tadi. Selesai memasak, saya ajak Amay untuk bermain. “Dek, menggunting yuk!” Seketika itu pula Amay yang sedang asyik dengan bekicot-bekicotnya langsung menjawab, “Yuk!”

Dia sangat tertarik bermain dengan benda bernama gunting. Ahh, jadi ingat, “Do you still remember, girls, this is one of the activities I love to do in Happy Bee? Ya, cutting (or, scissoring? Hehe..)

Saya pun membuat huruf-huruf hijaiyyah dengan tulisan saya sendiri. Sedikit kepedean memang, jika melihat hasilnya yang kurang memuaskan, hihi.. Maklumlah, tangan ini tak bisa disetel layaknya mesin cetak, yang bisa menghasilkan huruf-huruf yang presisi, wkwkwk..

Daaann, ini untuk Amay, juga untuk Miss Nenden…



(Maaf kalau kurang bagus hasilnya. Ini dikerjakan dengan bergulat melawan waktu. Hihi...:))
Read More

Ibu (lagi)

Saturday, May 18, 2013



“Tadi malam kamu tidur di sini,” kata ibu. “Kamu suka tidur di perut ibu?” Tanya beliau kemudian.
“He eh..” jawabku sambil menikmati tangannya membelai rambutku.
“Kenapa?”
“Empuk. Terus, bisa naik turun juga. Kalo bantal biasa kan nggak bisa. Hehe…”
“Iya, naik turun itu karena ibu bernapas. Tapi nanti kalau kamu tambah berat, ibu tambah tua, ibu nggak tahu ibu masih kuat apa nggak kamu jadikan bantal.”
“Ibuuu…” Aku merengek.
“Hmm? Ibu disini.”
Aku lalu memiringkan tubuh ke arahnya. Kupeluk tangannya yang tengah membelaiku. Kupandangi bibirnya, juga dagunya yang manis terbelah. Belahan dagu yang alami, bukan buatan.
Aku membatin, “Ibu cantik.”
“ Ibu sayang kamu.” Katanya berbisik.
Aku diam saja. Tapi dalam hati kuucap, “Aku juga sayang banget sama ibu.”
Dan sekarang aku menyesal, mengapa kata-kata itu tak pernah kuucapkan di depannya, di dekat telinganya?
 Aku ingin bertemu denganmu ibu, dan jika itu terjadi walau dalam mimpi, aku akan berkata, “Ibu cantik, Arin sayaaaang banget sama ibu.”
Read More

Kandas

Monday, April 8, 2013







Selamat ya ukh, akhirnya mengudara juga, katanya sambil menatap gadis itu.
Kalau bukan karena bantuan kakak, saya mungkin belum jadi penyiar sekarang. Saya sangat berterima kasih atas pertolongan kakak. Jawab Hilma malu.
Ah, itu cuma kebetulan, koq. Coba saya tahu dari dulu kalau anti punya cita-cita jadi penyiar, pasti sudah dari dulu juga saya kenalkan pada Pak Fatah. Saya kenal beliau sudah lama, sejak beliau mulai dakwah ke sekolah-sekolah, kemudian berlanjut ketika beliau mendirikan radio dakwah ini.
Oh..
Ya sudah, anti mau pulang kan? Yuk kuantar.
Ah, terima kasih kak sebelumnya. Saya pulang sendiri saja.
Baiklah. Fadil tahu mengapa gadis cantik itu tak mau ia antar. Ia adalah gadis sholikhah, yang mengerti batasan-batasan dalam pergaulan dengan lawan jenis. Fadil mengaguminya sejak pertama kali bertemu, di sebuah acara di kampus mereka. Dia mengenalnya sebagai adik angkatan yang cerdas, namun selalu rendah hati. Bicaranya sopan, hanya bersuara jika diperlukan. Tak seperti kebanyakan gadis jaman sekarang.

Waktu pun berlalu, hubungan mereka kian dekat. Selalu ada cerita untuk dibicarakan dan dibahas bersama. Istilah kerennya, sudah ada chemistry. Hilma, gadis cantik itu kini memendam rasa yang tak sama pada lelaki di hadapannya. Namun, rasa itu hanya mampu dipendamnya hingga batas waktu yang ia sendiri tak tahu. Ia berharap dalam do'a agar Kak Fadilnya segera mengetahui isi hatinya.
Aku tak mungkin mengungkapkannya duluan, begitu katanya pada Rani, sahabatnya di radio.
Di tempat lain, Fadil, yang selama ini menaruh rasa yang sama, sedang memikirkan cara yang paling berkesan untuk meminang gadis pujaannya itu. Ia tak mau pinangan yang biasa-biasa saja untuk gadis teristimewa.

Di tengah pengharapan akan cinta sucinya, handphone Hilma berdering. Bapak di seberang sana bertanya Nduk, kapan kamu bisa pulang?
Memangnya ada apa, Pak?
Gini, bapak sama ibu mau kedatangan tamu. Keluarga Bayu. Kamu ingat kan, teman baik bapak, Pak Waluyo? Beliau kemarin mengutarakan keinginannya untuk meminangmu menjadi menantunya, menjadi pendamping Bayu. Kamu setuju kan, Nduk?
Masya Allah, kabar dari Bapak bagai petir di siang bolong yang menyambar dan merobohkan pohon impiannya. Tak mungkin ia menolak. Keluarga Bayu adalah keluarga baik-baik, Bayu pun begitu. Dia teman kecil Hilma. Sholih, cerdas, aaahhh, tak ada alasan untuk tidak menerimanya. Namun demi orang tuanya, Hilma merelakan semua. Hilma pulang dengan penantian yang tlah usai.
Esoknya, Fadil mencari Hilma di radio tematnya bekerja. Hilma mana Ran? Hari ini dia siaran kan? tanyanya pada Rani.
Hilma cuti mendadak, Kak. Dia akan segera menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Dia menitipkan salam takzim untukmu Kak.Jawab Rani yang telah mengetahui kisah mereka. Ada rasa haru ketika ia menyampaikan salam dari Hilma untuk Fadil. Tak tega rasanya, melihat dua insan yang saling menyayangi harus berpisah, namun bukan karena keinginan mereka sendiri.
Fadil terduduk dengan lunglai. Lama ia terdiam. Matanya mulai mengembun. ”Kandas sudah,” ucapnya dalam hati, kemudian melangkah pergi.
Read More

Saat Itu, Ibu...

Tuesday, March 26, 2013



Saat itu, ibu…
Tengah malam buta
Kusaksikan wajahnya basah berwudhu
Lalu kudengar sebuah isakan
 
Ia pasrahkan jiwanya pada Zat yang menciptanya
Dan samar-samar
Seperti bisikan angin malam
Do’a mengalir dari bibirnya yang lembut

Saat yang lain lagi, ibu…
Berucap sesuatu
Padaku
Katanya, badai pasti akan berlalu

Saat itu pula, ibu…
Aku menyadari besarnya cintamu padaku
Dan saat itu juga, ibu…
Ingin kukatakan, aku mencintamu
Read More

Jum’at Merindu

Friday, March 15, 2013




Ada pepatah yang mengatakan, kita baru benar-benar merasa bahwa kita membutuhkan seseorang apabila kita telah ditinggalkan. Seperti itulah yang saya rasakan selama hampir lima tahun ini. Ibu pergi sebelum saya sempat membaktikan diri untuknya. Rasa sesal ini belum juga terobati hingga kini. Kadang saya berandai-andai, meskipun ini tak mungkin, jikalah bisa sang waktu mundur beberapa saat sebelum kami berpisah, saya akan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk membalas kasih sayangnya.
Masih terngiang semua kenangan tentang beliau. Bagaimana beliau merawat saya hingga dewasa, menghibur saya saat terluka, menasehati saya ketika terlupa.
Beliau adalah inspirasi untuk saya. Saya selalu ingat pengorbanannya untuk keluarga. Beliau selalu bangun tidur sebelum pagi datang. Dan kami, anak-anaknya, sudah bisa mencium bau sayur dan nasi hangat di meja makan ketika mata kami terbuka. Tahukah? Cucian baju sudah siap untuk dijemur, walaupun ibu mencuci tanpa bantuan mesin. Belum berhenti disitu, saya dimandikannya, digantikan baju, dan disisirnya rambut saya. Ketika kami pergi ke sekolah, pekerjaan rumah yang lain telah menantinya. Di tangannya, rumah selalu bersih dan rapi.
Tak hanya itu, sifatnya yang pemurah menjadi teladan bagi saya. Ibu, selalu memuliakan tamu. Bahkan, suatu hari seorang pemulung yang mencari kaleng bekas di belakang rumah kami pun dipersilakannya masuk. Beliau menyediakan minuman dan makanan kecil untuknya.
Ibu adalah sosok yang multitalenta. Baju-baju saya, hampir semua adalah hasil karyanya. Pita rambut pun begitu. Saya tak pernah pergi ke salon untuk memotong rambut, karena ibu bisa melakukannya. Saya dipercantik dengan tangannya sendiri, dan saya sangat bangga. Bukan itu saja, Ibu juga pandai memasak. Tak jarang, tetangga yang sedang mempunyai hajat, meminta bantuan beliau untuk membantu memasak.  
Tangan beliau memang kasar, ciri seorang pekerja keras. Tapi tahukah, betapa lembut belaiannya? Ketika saya sakit, sungguh, belaian tangan ibunda adalah penyembuh.
Kasih sayang beliau yang bak mentari, menghangatkan jiwa saya, tanpa beliau minta balasannya. Rasa tanggung jawabnya juga amat besar. Bersamanya, empedu serasa madu. Dalam duka, bersamanya saya masih bisa tertawa.
Ya Allah, saya sedang merindu sosoknya yang syahdu. Saya merindu semua yang ada padanya. Bila boleh hamba meminta, jadikanlah tiap kerut merut di wajahnya yang disebabkan karena memikirkan hamba, menjadi penuntunnya menuju surga. Jadikanlah setiap tetes peluh dan air matanya, sebagai kendaraan menuju jannah-Mu. Muliakanlah ibu, ampunilah dosa ibu. Lapangkan kuburnya, terangkanlah dengan cahaya kasih-Mu. Jauhkanlah ibu dari siksa kubur juga siksa api neraka. Dan, perkenankanlah kami bertemu di surga. Aamiin.

Read More