Beberapa
waktu terakhir, televisi kita banyak dihiasi kasus korupsi yang tak hanya
dilakukan oleh kaum bapak, tapi juga oleh kaum ibu. Tak mau kalah sepertinya.
Seolah-olah korupsi sudah menjadi gaya hidup. Cara apapun demi uang dihalalkannya.
Tidakkah mereka sedih saat harus terpisah dengan keluarga (khususnya anak-anak
mereka) dan menghuni rutan? Well..mungkin mereka bia membayar rutan yang mewah,
seperti yang pernah diliput sebuah stasiun televisi swasta kita. Tapi tetap,
image seorang napi itu kedengarannya kurang baik. Tidakkah mereka malu dengan
sanksi sosial yang mereka terima? Tidakkah mereka membayangkan perasaan
keluarga yang juga malu dengan perbuatan mereka? Ingatkah mereka akan dosa dari
“mencuri” uang rakyat dan konsekuensinya di kahirat kelak?
Saya
jadi ingat, lagu anak-anak yang dulu pernah saya dengar;
“Kata
ummi dan abi, Jannah itu sangat indah
Banyak
orang berlomba ingin masuk ke dalamnya
Kata
ummi dan abi, neraka itu sangat panasnya
Tetapi orang berlomba ingin
masuk ke dalamnya”
Memang,
kita tak pernah takut akan hal yang belum pernah kita lihat secara langsung.
Kalau hanya cerita saja, walaupun itu nyata datang dari Al-Qur’an yang tidak
diragukan lagi isinya, panasnya neraka tidak mengurangi niat untuk melakukan segala
larangan Allah.
Ingat
lagi deh dengan sebuah lagu qasidah kesukaan bapak, yang sering diputar oleh
beliau, dulu, sewaktu saya kecil.
“Besihkan,
bersihkan
Lingkungan
kerjamu
Jangan
kau kotori, Jangan kau nodai
Dengan
perbuatan, amoral dan asusila
Hindarkanlah
kecurangan, dan semua bentuk kebohongan
Bila
kau ingin tentram
Damai
tanpa bayang-bayang
Cukupkanlah
rizkimu
Jangan
ikuti hawa nafsu
Itulah
resep hidup tentram
Yang
diajarkan agama
Ingatlah
ingat cari selamat
Di
dunia dan akhirat
Kita
memang membutuhkan uang sebagai sarana untuk menciptakan kebahagiaan. Tapi
jangan sampai karena uang juga kebahagiaan kita hilang. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah,
jangan sampai hal-hal seperti itu terjadi pada saya dan keturunan saya. Mengutip
sebuah status facebook dari Majalah Embun, “Pendapatan Rasulullah sebagai
kepala negara berasal dari hasil perang, zakat, maupun pajak yang sangat besar.
Meskipun begitu, beliau memilih untuk tetap hidup sederhana. Beliau shalat
dengan khusyu’ walau setumpuk rampasan perang dikumpulkan di belakangnya.”