Showing posts with label buku. Show all posts
Showing posts with label buku. Show all posts

Padang Bulan, Sebuah Novel Karya Andrea Hirata

Friday, December 11, 2015

Novel Padang Bulan, karya Andrea Hirata

Kalau guru-guru menulis saya mengatakan, karya fiksi yang bagus adalah yang membuat orang terkesan sejak kalimat pertamanya, maka novel ini sudah bisa dikatakan novel yang bagus karena saya terkesan sejak kalimat pertama, dan mata saya lekat hingga tak terasa habis satu bab.

Novel ini diawali dengan kisah yang mengharu biru, hingga air mata menitik. Namun saya bersyukur, meski dua tokoh central dalam novel ini memperjuangkan hidupnya mati-matian hingga jungkir balik, kisahnya berakhir dengan bahagia. Ini membuat saya makin percaya, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan.

Enong, diceritakan terlahir dari keluarga yang amat miskin. Takdir menempanya, hingga ia menjadi sekuat besi baja. Jika engkau merasa hidupmu tak pernah bahagia, lihatlah Enong ini, kehidupannya jauh, jauh lebih sulit dari yang mungkin engkau rasa.

Kisah sedih Enong bermula ketika ayahnya, tulang punggung di keluarganya, meninggal karena tertimbun tanah di tambang timah. Padahal saat itu, Ayahnya tengah memberikan kejutan kepada ibunya, Syalimah, sebuah sepeda, yang rencananya akan dipakai untuk bersama-sama pergi ke pasar malam, malam harinya. Betapa kebahagiaan itu bisa terenggut dalam beberapa detik saja.

Dan saya pun semakin mengimani ke-Mahakuasa-an Allah Ta’ala. Apa yang Allah kehendaki, tak ada yang tak mungkin terjadi.

Enong, gadis cilik yang baru duduk di kelas 6 SD itu, mesti merelakan pendidikannya. Ia harus mengubur mimpinya menjadi guru bahasa Inggris, pelajaran yang amat disukainya. Ia harus ikhlas keluar sekolah tanpa ijazah, karena sebagai anak sulung ia memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung.

Dan tahukah, ada yang lebih perih mengiris-iris. Jika ibunda Enong dihadiahi sepeda tanpa bisa menikmatinya dengan suaminya – sang lelaki penyayang – maka Enong, telah cukup bahagia dengan Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar: 1.000.000.000 Kata pemberian almarhum ayahnya. Jika sedang dilanda rindu dan sendu, ia membaca pesan yang dituliskan sang ayah di halaman depan.
Buku ini untuk anakku, Enong.
Kamus satu miliar kata.
Cukuplah untukmu sampai bisa menjadi guru bahasa Inggris seperti Ibu Nizam.
Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda,
Ayahmu

Suatu hari di Kantor Pos, Enong dewasa berjumpa dengan Ikal (Andrea Hirata). Tidak, kelanjutan kisah mereka tak seperti cerita kebanyakan, yang biasanya membuat sebuah pertemuan berakhir dengan percintaan. Karena sebuah kata dalam bahasa Inggris, Enong dan Ikal akhirnya dekat dan menjadi sahabat. Enong memang selalu kagum dengan orang yang pandai berbahasa Inggris. Dan kata yang mendekatkan mereka itu adalah; wound. Luka.

"Time heals every wound, waktu akan menyembuhkan setiap luka."

Saat bertemu dengan Enong ini, sesungguhnya Ikal juga sedang terluka. Bagaimana tidak? Satu-satunya perempuan yang dicintainya, A Ling, dikabarkan akan dilamar oleh seorang pria yang tinggi, tampan, dan multi talenta. Zinar, nama pria yang beruntung itu. Setidaknya, kabar inilah yang disampaikan oleh M. Nur, detektif di kampungnya.

Andrea Hirata pun berusaha menemui A Ling, namun yang dinanti-nanti tak pernah ada di rumah. Ia semakin pupus harapan. Rasa cemburu merasuki hatinya. Kalau cinta itu buta, rasanya memang benar adanya.

Entah, apakah kisah Ikal disini adalah kisah nyata yang dialami Andrea Hirata. Yang jelas, seperti di novelnya terdahulu – Tetralogi Laskar Pelangi – Andrea Hirata mengemas kepedihan dengan jenaka. Seperti di halaman 258, saya dibuat terpingkal-pingkal ketika membaca kisah Ikal yang dibonceng dua sahabatnya, M. Nur dan Enong, pasca peristiwa yang hampir merenggut nyawanya karena ia terobsesi menambah tinggi badannya barang empat senti.

Patah hati membuat Ikal semakin terpuruk. “Dan andai kata kesedihan karena putus cinta dapat dibasuh air hujan, aku mau berdiri di bawah hujan dan halilintar, sepuluh musim sekalipun.” – Hlm. 283

Di halaman berikutnya, memasuki mozaik (bab) ke-40, kepedihan Ikal terurai. Ternyata informasi yang diberikan detektif M. Nur selama ini salah. Nah, inilah yang saya maksud dengan happy ending itu. Pada akhirnya, setelah jungkir balik berusaha mengalahkan Nizar, hingga nyawa yang satu-satunya itu hampir melayang, Ikal kembali bisa tersenyum dan tidur dengan tenang.

Melalui Jose Rizal – Merpati pos yang telah dilatih M. Nur – detektif itu menyampaikan permohonan maafnya pada Ikal. Kasus antara Ikal vs A Ling telah usai. Namun Ikal masih harus menyelesaikan sebuah pe er dengan sang ayah. Akankah kemudian ayahanda Ikal menyetujui hubungannya dengan perempuan Tionghoa itu?

Ayah, pulanglah saja sendirian
Tinggalkan aku
Tinggalkan aku di Padang Bulan
Biarkan aku kasmaran”
(penggalan puisi Ada Komidi Putar di Padang Bulan)


Novel ini komplit. Kisah pilunya membuat menangis, dan kisah bahagianya membuat saya tertawa hingga mengeluarkan air mata. Kini saya penasaran dengan Novel Kedua Dwilogi Padang Bulan, Cinta di Dalam Gelas. 
Read More

Recto Verso, Melihat dan Mendengar Karya yang Sama

Wednesday, November 18, 2015


Buku adalah jendela dunia. Semua orang tahu itu. Meskipun kita hanya duduk berdiam, tapi jiwa dan imajinasi bisa pergi ke lain alam. Banyak sekali buku yang sudah menginspirasi saya, akan tetapi ada satu buah buku, yang karenanya saya kembali ingin belajar menulis.

Kalau artis saja bisa nulis, masa' saya enggak?

Benar, cita-cita saya semasa remaja dulu adalah menjadi seorang penulis. Namun, karena tak ada satu pun prestasi yang saya hasilkan dari kegiatan itu, saya menyerah, putus asa, lalu berhenti begitu saja.

Tiba-tiba di tahun 2010 saya menemukan pencerahan, sebuah cahaya yang telah hilang. Saat itu, karena saya sudah resmi serumah dengan suami setelah tujuh bulan menjalani LDR, saya memulainya dengan bersih-bersih rak buku milik suami. Ketika itu, sebuah buku berwarna hijau - berjudul aneh - dari pengarang yang saya sudah ketahui namanya sebagai seorang penyanyi, menyita perhatian saya.

Buku-buku yang berserakan tak karuan tak saya hiraukan.

Saya membaca semua endorsement tentang buku itu. Semua positif. Semua menyambut kelahiran buku itu dengan takjub. Apalagi sang penulis berhasil membawakan karyanya dalam dua versi, yaitu dalam bentuk tulisan dan lagu.

Sampai disini, pasti sudah bisa menebak 'kan, apa judul buku itu?

Iya, Recto Verso jawabannya.

Recto Verso
Recto Verso by Dee Lestari

Judulnya aneh 'kan? Bahkan penulisnya pun mengatakan demikian. Kata ini memang jarang terdengar. Dan Dee, berhasil "merampas" kata itu menjadi miliknya. Hehe, semoga kalimat saya tadi nggak lebay ya...

Coba deh, tanyakan pada orang-orang di sekitarmu, "Apa kamu tahu recto verso?"

Saya menebak, jawaban yang terbanyak adalah, "Itu kan karyanya Dee Lestari." Dee sendiri mengatakan bahwa recto verso memiliki arti sebuah gambar yang seolah-olah terpisah, padahal menjadi satu kesatuan yang menyeluruh. Dee menjadikan kata itu sebagai judul karyanya karena karyanya ini mempunyai dua versi, yaitu audio (lagu), dan visual (buku). Meskipun bentuknya berbeda, namun sejatinya baik lagu maupun buku itu adalah satu. Ia bisa dinikmati bersama-sama.

Mengutip armeyn.com, dalam dunia percetakan, recto dan verso dikenal sebagai halaman depan dan belakang. Recto adalah halaman di sebelah kanan, dan verso adalah halaman di belakangnya.

diambil dari armeyn.com

Dan mengapa recto verso ini begitu istimewa?

Selain karena lewat karyanya ini, Dee berhasil membangunkan passion saya yang mati suri, recto verso menjadi penghibur tersendiri. Jika saya sedang tidak tahu ingin melakukan apa, maka recto verso lah yang jadi pelampiasannya. 11 rangkaian nada dalam albumnya, telah puluhan kali saya dengarkan. 11 kisah yang Dee bawakan dalam bentuk tulisan, telah puluhan kali saya baca ulang. Dengan membaca satu atau dua cerpen saja, semangat saya bisa kembali ada. Itulah mengapa buku ini selalu ada di samping tempat tidur saya. :)

Gaya cerita Dee dalam buku ini begitu mempesona. Dia seperti berkata lewat huruf dan tanda baca. Dan ada beberapa cerpen favorit saya disana.

Dalam "Firasat", saya menyimpulkan bahwa terkadang terlalu peka itu menyiksa.
"Aku Ada" berkisah, meskipun raga telah terpisah dari jiwa, namun cinta bisa mendengar, melihat, tanpa perlu alat. Bahwa dia yang telah pergi, mungkin saja ada di sampingmu kini.
Dalam "Hanya Isyarat", saya ikut merasakan sesak karena perasaan yang tak sempat terungkap. 
Dalam "Peluk", saya seperti menangkap kisah yang menjadi pemisah antara penulis dengan suami pertamanya.
Dee pun tak perlu menulis kata "sedih" untuk melukiskan sebuah kesedihan. Kata-kata yang dipilihnya dalam "Tidur", cukup membuat saya menangkap bahwa hati tokohnya porak poranda.

Ahh, Andrea Hirata benar, Dee selalu menghormati intelektualitas pembacanya.



Read More

Heidi; Film, Buku, dan Sepotong Rindu

Friday, October 9, 2015

Heidi


Saya bukan pecandu film, yang menjadikan aktivitas menonton film sebagai rutinitas. Saya juga bukan tipe orang yang gemar "mencari" film yang bagus. Biasanya saya baru menonton film setelah teman-teman merekomendasikannya. Maka wajar saja jika saya jarang pergi ke bioskop, karena saya lebih sering menonton film di rumah. Tapi bukan berarti saya belum pernah ke bioskop yaa, hehe... Sesekali sih pernah, menyegaja kesana untuk melihat film yang sedang diputar. Dan pasca menikah kurang lebih enam tahun ini, saya baru sekali menonton film di bioskop, rame-rame dengan suami dan si sulung. Itu pun "Walking with Dinosaurs" yang kami tonton, karena Amay suka sekali dengan dinosaurus.

Saya kurang suka film action. Saya juga kurang suka film-film dari hollywood. Kalaupun ada, paling hanya beberapa. Hehe...biar lah saya dibilang udik.

Omong-omong soal film, beberapa hari lalu ketika beberes rumah, saya menemukan sebuah buku lama, Heidi judulnya.


dok. pribadi

Lima tahun lalu ketika menemukan buku ini, saya seolah mendapat harta karun. Heidi, buku karya Joanna Spyri ini, pernah saya lihat sekilas dalam bentuk film, dua puluh tahunan yang lalu. Waktu itu, sambil menatap layar kaca dua warna (hitam putih) berukuran 14 inch, saya menyaksikan sebuah penggalan film.

Yang membuat momen itu berkesan adalah karena saya melihatnya bersama almarhumah ibu tercinta. Ibu melarang saya memutar channel yang lain, karena menurut beliau film itu bagus. Dan kata ibu, beliau pernah menonton film ini sebelumnya. Saya patuh, meskipun saat itu saya kurang menikmati film itu.

Yang sangat saya ingat dalam film itu adalah ketika seorang gadis kecil menderita sakit hingga membuatnya tak mampu berjalan. Sepanjang hari, ia harus rela menghabiskan waktunya duduk di atas kursi roda. Kemudian suatu hari ia pergi ke sebuah tempat yang asri. Disana ia tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi padang rumput yang hijau. Dan ajaibnya, setelah beberapa lama tinggal disana, ia bisa kembali berjalan.

Saya pikir gadis kecil yang lumpuh itulah yang bernama Heidi, tapi ternyata bukan. Maklum lah, karena film itu berbahasa inggris, saya yang masih kecil saat itu, kurang paham dengan jalan ceritanya. Namun buku ini membantu saya mengetahui jalan cerita sesungguhnya.

*

Heidi, adalah seorang gadis yang telah yatim piatu. Bibinya kemudian membawanya pada kakeknya yang tinggal di gunung. Alasannya saat itu adalah karena ketiadaan biaya, dan ia harus bekerja ke Frankfurt. 


www(dot)planet-series(dot)tv


Selang beberapa lama, Heidi yang sudah terlanjur betah hidup berdua dengan kakeknya kembali dijemput oleh Bibi Detie. Bibi Detie mengatakan bahwa ia telah menemukan sebuah keluarga yang mau menampung Heidi. Keluarga tersebut memiliki anak seumuran Heidi, Clara, yang sedang sakit. (Clara inilah yang sebelumnya saya kira adalah Heidi) 


mirvideo(dot)tv



Clara yang merupakan anak orang kaya, menyukai Heidi yang baik hati. Suatu hari, Heidi jatuh sakit. Sakitnya ini karena dia mengalami homesick dan ingin kembali pada kakeknya di gunung. Keluarga Clara pun dengan berat hati mengirimnya pulang. 

Singkat cerita, Clara yang merindukan Heidi pun menyusul gadis kecil itu. Di sanalah, di rumah-gunung milik kakek Heidi itu, akhirnya Clara bisa sehat dan dapat berjalan kembali.

Pesan moral yang saya dapatkan dari kisah Heidi adalah; "money could only buy material things, but it could not buy happiness."

Film Heidi, meskipun hanya sepenggal yang saya lihat, tapi ceritanya benar-benar melekat. Ini adalah satu-satunya film yang bisa membuat saya terkesan hingga puluhan tahun lamanya, dan belum tergeser oleh film lain.


Mungkin banyak film lain yang lebih bagus, namun history di belakang film ini lah yang membuatnya istimewa. Seperti ketika kita menemukan pasangan, meskipun banyak yang lebih kaya dan rupawan, tapi yang istimewa lah yang membuat hati kita tertawan. :D



Read More

Negeri Neri; Novel yang Bagi Saya Layak Difilmkan

Sunday, October 4, 2015

Menurut saya, bagus atau tidaknya sebuah novel ditentukan oleh sejauh mana novel itu bisa "mengganggu pikiran" pembacanya. "Mengganggu pikiran" disini artinya, apapun kegiatan yang kita lakukan, jalan cerita novel yang sedang kita baca masih terngiang-ngiang di kepala.

"Negeri Neri", sebuah novel karya Sari Safitri Mohan, berhasil mengalihkan dunia saya hingga beberapa hari. Saya terjebak dalam belantara hutan "Negeri Neri" sampai beberapa waktu. Mungkin bisa dibilang, saya sulit untuk move on dari kisah itu.

Sebenarnya, novel ini sudah terbit sejak 2012 lalu, tapi saya baru menikmatinya setelah seorang teman memberikan novel ini pada saya. Kalau saya tau gimana bagusnya novel ini, saya tidak akan sayang mengeluarkan uang untuk membelinya. Serius.

Ada cerita di dalam cerita, begitulah kira-kira cara penulis novel ini menuangkan idenya. Seperti anakan sungai yang bercabang-cabang, akhirnya mereka bertemu dalam satu muara.

Berawal dari kisah Mala, gadis cilik berusia enam tahun, yang tersesat dalam rimbunnya hutan di belakang rumahnya. Di dalam hutan itu ia berjumpa dengan Ibu Bunga. Untuk selanjutnya, Ibu Bunga mendongengkan perjalanan hidup seorang Elin, yang ternyata merupakan anak dari kakek bertelinga kanan setengah. Ibu Bunga menyampaikan cerita itu episode per episode, setiap kali Mala mengunjungi tempatnya.

Selanjutnya, Mala menceritakan dongeng yang didengarnya dari Ibu Bunga kepada Flora kakaknya, yang mempunyai hobi menulis.
"Kak, memang gimana rasanya laki-laki dan perempuan yang berpelukan dan hujan-hujanan?"
Flora seperti tersengat listrik seribu watt mendengar pertanyaan Mala. Namun Flora memutuskan untuk mendengarkan cerita Mala meskipun rasa penasaran akan kebenaran cerita yang disampaikan Mala demikian besar.

Cerita-cerita Ibu Bunga, yang disampaikan pada Mala dan ditulis ulang oleh Flora, diterbitkan di majalah sekolah. Sambutan yang baik dari para pembacanya, membuat Flora didaulat untuk masuk ke dalam tim redaksi.

Masalah kemudian timbul. Klimaks dari novel ini adalah ketika Flora hilang. Ia diculik untuk mempertanggungjawabkan tulisannya, karena ada pihak yang merasa bahwa "Negeri Neri" sebenarnya bukan merupakan karya fiksi, namun ada unsur pencemaran nama baik. Semua merasa kehilangan, hingga suatu hari salah satu dari penculiknya menyerahkan diri.

Sampai di halaman 254, jantung saya berdebar lebih cepat. Saya memang begitu, menikmati setiap kata yang saya baca, sehingga seolah-olah saya benar-benar berada di dalamnya. Dikisahkan, pelaku penculikan mengakui bahwa ia menculik dan menghilangkan nyawa Flora.
"Saya taruh dia di dekat sungai yang banyak buayanya. Saya tunggu dari jauh sampai saya lihat seekor buaya memakannya." akunya, saat ditanya bagaimana caranya membunuh Flora.

Duh, disitu saya sempat kecewa. Koq, tokoh Flora dibuat meninggal sih? Tapi ternyata kisah novel ini belum berakhir. Masih banyak keterkejutan-keterkejutan yang dibuat oleh penulis, hingga saya meyakini bahwa penulis merupakan orang yang jenius karena berhasil membuat cerita berputar-putar, sambung-menyambung, namun sama sekali tidak terkesan dipaksakan.

Ada beberapa tokoh penting dalam novel ini;
1. Mala. Gadis cilik penyambung lidah Ibu Bunga. Tanpanya, Ibu Bunga tak akan bisa menguak tabir ketidakadilan yang menimpa dirinya.
2. Ibu Bunga. Darinya, awal cerita yang rumit ini bermula.
3. Flora. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan dongeng dengan kenyataan, melalui tulisan.
4. Elin. Dirinya lah, muara semua kisah.
5. Aria. Laki-laki ingkar. Darinya kita bisa mengambil pelajaran, bahwa laki-laki akan mengeluarkan seluruh daya upaya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun setelah impian didapatkan, dirinya tak lagi penasaran, ia akan lupa dengan apa yang pernah dijanjikan.
6. Momon. Nah, ternyata sosok ini punya kejutan. Ternyata ia adalah Laks, saksi hidup perjalanan kisah Elin dan Aria.
7. Rio. Pemimpin redaksi majalah Suluh, yang menerbitkan "Negeri Neri".
8. Anggi. Lewat kelihaiannya dalam men-sketsa, ia bisa menggambarkan sosok Ibu Bunga, melalui arahan Mala. Sketsa yang dibuatnya berhasil mengobati kehampaan yang selama ini dirasakan kakek bertelinga kanan setengah.

Novel Negeri Neri

Dan kisah "Negeri Neri" ini pun diakhiri dengan epilog yang indah; 

Cinta kita memang pernah indah meski engkau akhirnya membungkamku. Teriakan kecilku telah terdengar, meski lonceng asmaradana usai. Aku telah kauhanguskan. Dan api khianatmu membuatku bagai kertas putih panjang yang telah habis jadi abu. Tapi senyumku pada sepi ini, kini melegakanku.
Jangan kaulupakan aku.
Jangan pernah kauhilangkan jejakku.





Read More

"Marriage with Heart", untuk Rumah Tangga yang Sehat

Wednesday, September 30, 2015

“Mereka datang dalam keadaan baik dan bersih
Nanti, jika saatnya tiba,
Bisakah aku mengembalikannya sebersih semula?
Sanggupkah dagu kita tegak di hadapan-Nya
Sambil berkata, “Wahai Tuhanku, telah kutunaikan tugasku
Telah kujalankan amanah-Mu.”

Puisi di atas adalah sepenggal pendahuluan yang bisa kita temukan dalam buku “Parenting With Heart” karya Elia Daryati dan Anna Farida. Syahdu bukan? Tidak berlebihan ‘kan jika setelah membacanya hati saya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan penyesalan yang amat dalam?

Iya, buku “Parenting With Heart” itu bisa membuat mata saya terpaku membaca kalimat demi kalimat, hingga terkadang keduanya mengembun bahkan menganak sungai. Buku ini menyentil nurani saya, hingga saya tersadar bahwa saya masih sangat jauh dari predikat “ibu yang baik”.

Dan kini, sebuah buku baru terlahir dari penulis yang sama, Ibu Elia Daryati dan Mbak Anna Farida. “Marriage With Heart”, begitulah judulnya.

Sama seperti buku sebelumnya, buku ini disampaikan dengan bahasa yang ringan dan lugas sehingga mudah dicerna. Isinya tidak seperti buku-buku pernikahan kebanyakan, yang biasanya mengulas secara kaku tentang hak dan kewajiban suami istri dalam pandangan agama, lengkap dengan hukum fiqih dan dalil-dalilnya. Buku ini bisa kita nikmati kata demi kata tanpa harus membuat kening berlipat lima. Walaupun penulisnya adalah muslimah, Marriage With heart tidak hanya diperuntukkan untuk orang Islam saja. Bahasanya universal, dan bisa diaplikasikan oleh pemeluk agama apapun.

Yang menarik, membaca buku ini, saya seperti membaca jawaban-jawaban dari curhatan kebanyakan orang. Bahwa masalah dalam rumah tangga itu tidak hanya seputar urusan ranjang saja, tapi ternyata ada banyak hal lain yang mungkin luput dari pengamatan kita.

Hubungan antara mertua dan menantu yang tak harmonis, mungkin jadi salah satu yang sering kita lihat memicu retaknya sebuah ikatan perkawinan. Ups, jadi ingat sebuah iklan di televisi yang seolah menggambarkan begitu seramnya sosok ibu mertua, padahal nggak semua mertua begitu lho, contohnya mertua saya.

Selain itu, adanya PIL atau WIL, juga kerap menjadi bara dalam rumah tangga. Lalu bagaimana sebaiknya suami atau istri sebaiknya bersikap jika ada penelusup dalam rumah tangganya? Amit-amit deh, ya, semoga kita nggak mengalaminya. Namun jika sudah terlanjur ada, buku ini memuat beberapa saran penyelesaiannya.

Masalah lain yang dibahas, banyak!

Anda punya anak tiri? Sedang menjalani LDR? Atau merasa tak berguna karena “hanya” menjadi ibu rumah tangga? Atau, pasangan Anda kecanduan media sosial bahkan CLBK dengan mantannya? Atau merasa punya kesenjangan ekonomi dengan pasangan, merasa seperti ATM yang bisa selalu keluar uang? Eh, jangan salah, walaupun kelihatannya sepele, tapi jika berlarut-larut, bisa bikin hubungan dengan pasangan makin kusut.

Makanya, ada tips dan trik supaya keharmonisan rumah tangga menjadi awet adanya. Penasaran? Beli saja bukunya. Saran saya, jangan dibaca sendirian. Ajak pasangan Anda membacanya juga, supaya bisa belajar bersama-sama, dan pernikahan bisa dijalani dengan kompak sehingga bisa mencapai tujuan yang diinginkan.

Seperti tanaman, romantisme terhadap pasangan juga perlu dirawat agar tumbuh sesuai harapan. Komunikasi, baik secara verbal maupun sentuhan, penting dipelajari. Malu? Bingung memulainya bagaimana? Ibu Elia dan Mbak Anna membagi semua tipsnya. Bahkan, di halaman 156, mereka memberi bocoran sebuah link yang bisa Anda buka untuk melihat bagaimana lelaki Jepang menyatakan cinta pada istrinya. Ini bisa menjadi ide juga, bukan?

~~~

Pernikahan memang merupakan sebuah perjanjian yang berat, yang menyertakan Tuhan semesta alam. Allah mengirimkan kepada kita seseorang yang tak sepenuhnya kita kenal. Pasangan kita itulah yang menjadi teman hidup dan teman beribadah kita, tim yang kuat untuk pulang menuju Tuhan. Lalu apa yang akan Anda katakan ketika Anda dan pasangan sama-sama berada di hadapan-Nya kelak?


Semoga nanti di hari akhir, pasangan kita akan berkata, “Ya Allah, aku bersyukur Engkau telah memberikan dia kepadaku. Sesungguhnya aku ridha kepadanya.”


Read More

Rahasia Pelangi: Buktikan Jika Kau Cinta

Thursday, September 10, 2015

taken from my instagram @rien_arin

Novel ini lahir dari tangan dua orang yang peduli terhadap lingkungan. Di dalamnya, kita dapat menemukan penyebab terjadinya konflik antara gajah dan manusia, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Ah iya, salah satu yang mendorong lahirnya novel ini memang karena kekhawatiran akan ancaman kepunahan gajah.

Benar kata orang, novel ini sangat informatif, karena secara detail Mbak Riawani dan Mbak Shabrina bercerita secara gamblang bagaimana kondisi Tesso Nilo dan Way Kambas. Mm, lebih tepatnya, bagaimana kondisi hewan-hewan yang dilindungi saat ini, gajah khususnya, juga kondisi hutan yang semakin berkurang. 

Diawali dengan kisah yang menghentak, ketika seorang Anjani kecil diajak ayahnya menyaksikan sebuah pertunjukan sirkus. Diceritakan, seekor ibu gajah; "Belalainya terulur, meraih belalai anaknya, melilit dengan cepat, lalu membanting tubuh gajah kecil itu ke tanah." Disitu bulu kuduk saya merinding. Apa yang terjadi kemudian dengan gajah kecil itu? Hhh... Dan masih ada hentakan lainnya, seperti saat Anjani dewasa yang telah menjadi seorang mahout, menolong kelahiran seekor bayi gajah yang akhirnya dinamai Akasia, bersama seorang mahout lainnya tanpa bantuan dokter hewan. Saya seperti merasakan jantung saya terpacu lebih cepat. 

Membaca novel ini, saya seakan diajak menaiki Beno, si gajah, sambil mengelilingi rimbunnya hutan. Saya bahkan seolah ikut merasa tubuh saya bergerak naik turun sambil menciumi bau hutan yang segar, aroma wangi durian hutan bercampur dengan aroma lumut dan dedaunan busuk. Hmmmhh... Namun, jangan mengharap cerita cinta di dalamnya naik turun bagaikan roller coaster, yang naik dan turun dengan drastis. Rasa cemburu Anjani akan kedekatan Rachel dengan Chay masih wajar, meskipun marahnya itu kemudian dianggap sebagai kelalaiannya hingga menyebabkan Rachel celaka. Keputusasaan yang dialami Rachel juga masih manusiawi, apalagi jika karakter Rachel memang digambarkan sebagai gadis tomboy yang tidak takut dengan apapun.

Secara keseluruhan, saya menilai, Mbak Shabrina dan Mbak Riawani adalah penulis yang cerdas. Salah satunya karena terpikir untuk menghadirkan tokoh Chay yang berasal dari Negeri Gajah Putih, Thailand. Seperti yang tertulis di halaman 123; "Negeri kelahirannya memuja gajah sebagai hewan suci." Tentu hal ini sangat cocok dengan bahasan utama dalam novel ini yaitu tentang gajah. Bagaimana keduanya mengolah data menjadi sedemikian mengalir pun patut diacungi jempol. Namun mungkin akan lebih komplit lagi jika dikisahkan bagaimana jatuh bangunnya Anjani menyembuhkan traumanya akan gajah, hingga memutuskan untuk bekerja menjadi mahout. Kalimat "Kau terlihat gugup. Yakin mau menjadi mahout?" yang dilontarkan Chay pada Anjani di halaman 41, bagi saya masih terlalu cepat membuat Anjani berubah jika mengingat rasa trauma pada gajah yang dialami Anjani sewaktu kecil termasuk berat.

Tapi tunggu, entah mengapa tiba-tiba mata saya melirik angka di pojok halaman. Hei, sudah halaman 286, tapi mengapa akhir cerita cinta antara Chay-Anjani dan Ebi-Rachel belum juga dibahas sih? Saya belum mendapatkan sedikitpun petunjuk untuk bisa mengambil kesimpulan apakah kedua pasangan itu akan bersatu? Apalagi, di halaman 289, Rachel justru mengatakan bahwa orang tuanya akan membawanya kembali ke Jakarta. Artinya, kemungkinan Ebi bersatu dengan Rachel menjadi semakin kecil.

Dan di halaman 302, saya mulai senyum-senyum sendiri. Untunglah kedua anak saya sudah terlelap dipeluk mimpi, hihi, jadi nggak ketahuan emaknya lagi ngapain. Hehe, habisnya saya seperti teringat ketika suami saya menyatakan cintanya dahulu. *ups

Yup, novel ini memang bukan novel romantis yang bisa mengaduk-aduk perasaanmu atau membuatmu menangis hingga menghabiskan satu pak tissue, tapi percayalah, jika kamu mencintai alam ini, hatimu akan tersentuh untuk memulai berbuat sesuatu. Dan Cinta bukan seberapa banyak kau mengatakan, melainkan sejauh mana kau membuktikan. Semoga novel ini bisa sekaligus menjadi ajang kampanye untuk lebih mencintai alam dan seisinya. :)

Read More