"Ibu-ibu jaman skg nggak mau sakit, kalo ngelahirin pake operasi cesar, padahal Tuhan memberikan rasa sakit pada saat melahirkan untuk mengingatkan bahwa anak didapat tidak dgn cara yg mudah. Kesakitan melahirkan anak sesungguhnya doa seorang perempuan pada Tuhan u/ menjadi seorang Ibu." Kalimat tersebut dituliskan oleh Anton Dwisunu pada tanggal 22 Februari lalu.
Rasanya pediiih banget baca tulisan itu. Pingin nangis, tapi karena waktu itu saya sedang di masjid menunggu suami yang sedang shalat, saya tahan air mata yang sudah mau keluar.
Koq bisa beliau men-judge seperti itu. Seandainya dia tahu apa yang saya rasakan ketika menjelang kelahiran Amay kurang lebih tiga tahun silam.
Saya masuk Rumah Bersalin hari Minggu malam, 13 Maret 2011. Saat itu, rencana awal hanya ingin kontrol dua mingguan, mengingat usia kandungan yang sudah semakin tua. Maksudnya, ingin tahu bagaimana kondisi saya dan janin, karena suami akan mempersiapkan pekerjaan-pekerjaannya untuk dibawa ke rumah. Suami memang ingin mendampingi saya saat melahirkan. Saya menunggu diperiksa sejak jam 16:30, dan baru ditangani jam 21:00. Saya sih maklum, karena pada saat menunggu antrian, ada dua orang pasien rujukan dari bidan desa yang siap melahirkan, sehingga dokter memprioritaskan pasien yang akan melahirkan terlebih dulu.
Pada saat diperiksa, jam sembilan malam waktu itu, dokter mengatakan bahwa plasenta saya sudah mulai mengapur. Iseng saya tanya, tanda-tanda mau melahirkan itu seperti apa? Saya sudah merasa pegal di bagian panggul. Mendengar pertanyaan saya, dokter pun berinisiatif melakukan pemeriksaan dalam. Kata beliau, air ketuban sudah mulai merembes. Oh, jadi yang saya anggap keputihan itu adalah ketuban to? Dokter pun menyarankan agar saya menginap malam itu. Mengingat waktu juga sudah malam (di Purworejo, jam segitu sudah sepi), akhirnya kami mengiyakan. Dokter kemudian memberi saya kapsul untuk memacu kontraksi yang diberikan tiap 6 jam sekali, sebanyak 4 kali. Jadi dalam 24 jam ke depan, saya akan diobservasi.
Esoknya, kakak saya menemani. Ternyata banyak yang sudah tahu bahwa saya akan melahirkan. Bulik saya pun wanti-wanti lewat telepon, kalau perut terasa mulas, banyak-banyak istighfar saja. Menurut pengalaman Bulik, kontraksi semakin cepat setelah dipacu dengan obat.
Kakak saya bertanya, "Jane kowe ki mules ora to, nduk? (Kamu itu sebenarnya merasa mulas nggak si?)" dan saya jawab dengan gelengan sambil cengengesan. Saya juga masih bisa jalan-jalan (katanya jalan-jalan bisa mempercepat kontraksi, kan?). Sampai ketika ada ibu bidan yang menjenguk, beliau berkata, "Orang kalau mau melahirkan harusnya nangis, bukan ketawa-ketiwi." Mendengar itu, kami semua yang ada di kamar pun tertawa. Lha, kenapa saya harus menangis? Semua "masih" terasa baik-baik saja.
Hingga keesokan harinya, empat buah kapsul yang saya minum sehari semalam kemarin ternyata tidak menimbulkan efek apapun pada rahim saya. Akhirnya, saya diinfus sejak senin malam hingga hari rabu. Saya masih bisa tertawa, saya tidak merasakan sakit karena kontraksi, dan saya masih selalu berpikir positif sambil berdo'a bahwa saya bisa melahirkan secara normal. Tidak terlintas sedikitpun bahwa kenyataan akan berkata lain. Saya membayangkan melahirkan secara normal, kemudian bayi saya melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini).
Namun hal yang sangat berat kemudian harus saya alami. Rabu sore, saya kembali di USG untuk ke sekian kali. Dokter mengatakan bahwa air ketuban sudah hampir habis dan harus segera diambil tindakan. Tindakan itu tidak lain operasi caesar, mengingat bahwa tidak ada kontraksi dan tidak ada bukaan sama sekali. Dengan berat hati, saya mengiyakan anjuran dokter. Saya tidak mau terjadi apa-apa dengan bayi saya nanti. Tangis saya pun pecah, apa yang saya bayangkan musnah. Suami mencoba menenangkan saya meskipun saya lihat gurat kecemasan juga ada di wajahnya.
Persiapan menjelang operasi, saya sudah bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Saya berpegangan erat pada tangan suami yang setia menemani. Malam itu, Amay terlahir. Suara tanagisnya memecah sunyi. Dan memang terbukti, meskipun gerakan janin tetap aktif, tapi berat badan saat lahir tidak sesuai dengan perkiraan dokter ketika di USG. Selisihnya mencapai 500 gram. Amay terlahir dengan berat hanya 2600 gram saja. Kata doker, karena plasentanya mengapur, jadi asupan makanannya tidak sampai ke janin.
Pasca operasi, malam tanggal 16 Maret 2011, saya ditemani suami dan kakak. Mereka tertidur pulas malam itu, kelelahan menemani saya sepanjang hari. Giliran saya yang mulai merintih menahan perih setelah efek bius perlahan menghilang. Huhuhuhu, begini ternyata rasanya, tawa saya hilang seketika.
Kata siapa melahirkan secara caesar tidak sakit? Saya masih harus kontrol jahitan hingga 3x setelah melahirkan untuk memastikan bahwa kulit telah tertutup sempurna. Yaa, nggak sempurna juga si...seperti ban motor yang bocor lalu ditambal. Tapi saya bersyukur, saya tidak seperti ibu-ibu di kamar sebelah yang mesti diulang jahitannya karena setelah seminggu ternyata kulitnya belum mengatup dan jahitannya kembali menganga. Masih mau bilang bahwa caesar itu enak? Saya hingga saat ini masih sering merasa cenat-cenut di bekas jahitan. Itu yang membuat suami saya merasa kasihan tiap kali saya merintih. Itu juga yang menjadi alasannya untuk menunda kehamilan anak ke dua, meskipun akhirnya kebobolan juga, hahaha...
Bagaimanapun cerita kehamilan atau kelahiranmu, rasanya tidak adil jika dikatakan bahwa ibu yang sempurna adalah ibu yang merasakan melahirkan secara normal. Saya yakin, jarang sekali ada yang sedari awal ingin melahirkan secara caesar. Terlebih saya, melihat angka yang harus dibayar saja sudah ogah sebenarnya. Tapi karena keadaan yang memaksa, apa boleh buat? Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Allah lah yang menentukan.