Saya bukan pecandu film, yang menjadikan aktivitas menonton
film sebagai rutinitas. Saya juga bukan tipe orang yang gemar "mencari" film yang bagus. Biasanya saya baru menonton film setelah teman-teman
merekomendasikannya. Maka wajar saja jika saya jarang pergi ke
bioskop, karena saya lebih sering menonton film di rumah. Tapi bukan berarti
saya belum pernah ke bioskop yaa, hehe... Sesekali sih pernah, menyegaja kesana
untuk melihat film yang sedang diputar. Dan pasca menikah kurang lebih enam
tahun ini, saya baru sekali menonton film di bioskop, rame-rame dengan suami dan si
sulung. Itu pun "Walking with Dinosaurs" yang kami tonton, karena Amay suka sekali dengan dinosaurus.
Saya kurang suka film action. Saya juga kurang suka
film-film dari hollywood. Kalaupun ada, paling hanya beberapa. Hehe...biar lah
saya dibilang udik.
Omong-omong soal film, beberapa hari lalu ketika beberes rumah, saya menemukan sebuah buku lama, Heidi judulnya.
dok. pribadi |
Lima tahun lalu ketika menemukan buku ini, saya seolah
mendapat harta karun. Heidi, buku karya Joanna Spyri ini, pernah saya lihat sekilas dalam bentuk
film, dua puluh tahunan yang lalu. Waktu itu, sambil menatap layar kaca dua
warna (hitam putih) berukuran 14 inch, saya menyaksikan sebuah penggalan film.
Yang membuat momen itu berkesan adalah karena saya melihatnya bersama
almarhumah ibu tercinta. Ibu melarang saya memutar channel yang lain, karena
menurut beliau film itu bagus. Dan kata ibu, beliau pernah menonton film ini
sebelumnya. Saya patuh, meskipun saat itu saya kurang menikmati film itu.
Yang sangat saya ingat dalam film itu adalah ketika seorang
gadis kecil menderita sakit hingga membuatnya tak mampu berjalan. Sepanjang hari, ia harus rela menghabiskan waktunya duduk di atas kursi
roda. Kemudian suatu hari ia pergi ke sebuah tempat yang asri. Disana ia
tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi padang rumput yang hijau. Dan
ajaibnya, setelah beberapa lama tinggal disana, ia bisa kembali berjalan.
Saya pikir gadis kecil yang lumpuh itulah yang bernama Heidi, tapi ternyata bukan. Maklum lah, karena film itu berbahasa inggris, saya yang masih kecil saat itu, kurang paham dengan jalan ceritanya. Namun buku ini membantu saya mengetahui jalan cerita sesungguhnya.
*
Heidi, adalah seorang gadis yang telah yatim piatu. Bibinya kemudian membawanya pada kakeknya yang tinggal di gunung. Alasannya saat itu adalah karena ketiadaan biaya, dan ia harus bekerja ke Frankfurt.
www(dot)planet-series(dot)tv |
Selang beberapa lama, Heidi yang sudah terlanjur betah hidup berdua dengan kakeknya kembali dijemput oleh Bibi Detie. Bibi Detie mengatakan bahwa ia telah menemukan sebuah keluarga yang mau menampung Heidi. Keluarga tersebut memiliki anak seumuran Heidi, Clara, yang sedang sakit. (Clara inilah yang sebelumnya saya kira adalah Heidi)
mirvideo(dot)tv |
Clara yang merupakan anak orang kaya, menyukai Heidi yang baik hati. Suatu hari, Heidi jatuh sakit. Sakitnya ini karena dia mengalami homesick dan ingin kembali pada kakeknya di gunung. Keluarga Clara pun dengan berat hati mengirimnya pulang.
Singkat cerita, Clara yang merindukan Heidi pun menyusul gadis kecil itu. Di sanalah, di rumah-gunung milik kakek Heidi itu, akhirnya Clara bisa sehat dan dapat berjalan kembali.
Pesan moral yang saya dapatkan dari kisah Heidi adalah; "money could only buy material things, but it could not buy happiness."
Film Heidi, meskipun hanya sepenggal yang saya lihat, tapi ceritanya benar-benar melekat. Ini adalah satu-satunya film yang bisa membuat saya terkesan hingga puluhan tahun lamanya, dan belum tergeser oleh film lain.
Mungkin banyak film lain yang lebih bagus, namun history di belakang film ini lah yang membuatnya istimewa. Seperti ketika kita menemukan pasangan, meskipun banyak yang lebih kaya dan rupawan, tapi yang istimewa lah yang membuat hati kita tertawan. :D