Melahirkan Normal Pasca Caesar, Apa Kiatnya?

Friday, February 13, 2015

Tanggal 15 November 2014 yang lalu, Alhamdulillah saya melahirkan putra kedua saya secara normal. Ini adalah hal yang luar biasa untuk saya, mengingat bahwa saya termasuk pelaku VBAC, Vaginal Birth After Cesarean. Saya melahirkan Amay, putra pertama saya, secara Caesar. 

Sebelumnya, saya percaya pada mitos bahwa jika sebelumnya kita melahirkan lewat operasi caesar, maka pada persalinan berikutnya pun harus dilewati dengan metode yang sama. Namun, Alhamdulillah saya mendapat pencerahan. Di awal kehamilan yang kedua, saya membaca kisah seorang kawan yang menuturkan pengalamannya melahirkan normal pasca caesar. Wah, harapan baru pun terhembus.

Alhamdulillah, dokter kandungan langganan saya di Solo adalah dokter yang pro normal. Kata beliau saat itu, saya bisa melahirkan normal asalkan berat badan bayi tidak terlalu besar dan rahim saya kuat, mengingat pernah ada jahitan sebelumnya. Bahkan di usia kandungan yang memasuki tujuh bulan saat itu, saya disarankan untuk diet karena BB bayi yang normal. Khawatirnya, bayi saya akan besar seperti bayi-bayi pada umumnya. Namun di bulan berikutnya, dokter mengatakan bahwa saya tak perlu lagi menjalani diet, setelah sebelumnya melihat perawakan Amay yang kurus kering. Hihihi, kata beliau, "Sepertinya panjenengan adalah tipe ibu yang melahirkan anak-anak yang kecil."

Jelang kelahiran, saya pulang ke kampung halaman, kota Purworejo. Sejak beberapa bulan sebelumnya, saya sudah mencari tahu rumah bersalin mana di Purworejo yang kira-kira pro normal. Alhamdulillah ketemu juga.

Amay saat menunggu saya yang sedang diobservasi di ruang bersalin.
Dan Allah memang Maha Pemberi Petunjuk, saya dipertemukan dengan dokter yang baik. Sebelumnya beliau bertanya, ingin melahirkan secara caesar lagi atau ingin mencoba normal. Tentu saja saya menjawab normal. Itu adalah impian saya. Sama seperti dokter saya di Solo, beliau mengatakan bahwa salah satu syarat untuk melahirkan normal pasca caesar adalah rahim harus kuat dan berat badan bayi tidak terlalu besar . Ada beberapa syarat tambahan, yakni; air ketuban cukup, posisi bayi sudah bagus, dan yang terakhir adalah melewati proses bukaan secara alami (artinya tidak boleh diinduksi, untuk menghindari resiko terhadap bekas jahitan terdahulu).

Hari itu pun tiba. Kamis tanggal 13 November 2014, saya merasakan sesuatu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ketika melahirkan Amay dulu, saya tidak mengalami mulas dan sama sekali tidak ada bukaan, jadi ini benar-benar merupakan pengalaman pertama bagi saya. Ada bercak darah yang keluar, dan iya itu adalah salah satu tanda jelang persalinan.

Wah, ternyata luar biasa ya rasanya? Saya melewati proses kontraksi hingga dua hari dua malam, sekali lagi karena bukaan harus alami tanpa adanya induksi, dan di 15 November jam setengah tiga pagi, saya berhasil melahirkan adik Aga yang beratnya 2900 gram.

Amay, menyambut adiknya. :)

Oiya, ketika hamil, saya menjalankan tips yang diberikan oleh ibu bidan yang baik hati, ibu Mugi Rahayu. Saya melakukan duduk tawarruk, yaitu duduk dengan mengarahkan tumit kiri ke vagina di setiap takhiyat akhir shalat. Harapannya agar jalan lahir lebih elastis sehingga luka robekan tidak terlalu besar. Dan memang, meski saya mendapat jahitan, namun tidak terlalu banyak. Itu pun karena dokter yang menangani saya memang selalu melakukan pengguntingan di jalan lahir.

Nah..jadi untuk ibu-ibu hamil yang dahulunya melahirkan secara caesar dan ingin melahirkan secara normal, Anda tak perlu lagi khawatir, Harapan itu masih ada. :)
Read More

Cintaku Terbagi Dua

Wednesday, February 11, 2015

Untuk anak-anak Mama...

you both, are my universe
Mas Amay, 
15 November 2014 yang lalu, adikmu Aga keluar dari perut Mama. Sejak hari itu pula, telah resmi panggilan "Mas" kami sematkan di depan namamu. Kamu bahagia? Iya, Mama bisa melihatnya. Mama menyimpulkannya dari caramu melindungi adik Aga dari tamu-tamu yang datang dan mencandaimu bahwa mereka akan meminjam adik Aga untuk dibawa pulang. Terkadang kamu marah karena candaan mereka, tak jarang pula kamu menangis karenanya. Kamu tidak rela, bukan? Tentu, karena kamu sudah menantinya sejak lama. Sama seperti Mama.

Dan beberapa hari setelahnya, Mama tergugu. Mama menyadari ada api cemburu di mata indahmu. Waktu yang selama ini penuh untukmu, harus terbagi dengan kehadiran adikmu. Perih hati Mama melihatmu menangis. Tapi apa mau dikata? Tangan Mama hanya dua. Mama harus melakukan semuanya bergantian. Menyusui adikmu kemudian memandikanmu atau menyuapimu lalu terburu-buru menggendong adikmu? Ahh, Mama tahu, Mama harus berbicara padamu.

Dan benar, anak Mama memang pintar, sangat mengerti kondisi Mama. Mama sangat berterima kasih karena telah mendengarkan penjelasan Mama. Terima kasih karena cemburumu tak berlarut-larut. Bahkan setelah menjadi seorang kakak, kini kau sudah bisa mandi sendiri, walau Mama masih merasa perlu untuk membilasnya lagi. Kau pun sudah pandai melepas bajumu sendiri sebelum mandi. Terima kasih sudah membantu meringankan pekerjaan Mama. Mama bahagia, anak Mama tambah pintar sekarang. Walau begitu, ada saja rasa haru yang terbersit di hati Mama. Ah, rasa bersalah lebih tepatnya. Rasa bersalah karena Mama merasa belum sempurna menemanimu, mengurusmu, memperhatikanmu. 

Tahukah kau, Mas Amay? Kadang saat malam membawamu terbang, Mama memperhatikan wajahmu dalam-dalam. Mama peluk dan ciumi wajahmu. Lalu perlahan air mata Mama menitik. Pelan Mama berbisik, "Maafkan Mama ya sayang... Percayalah, cinta Mama padamu tetap besar seperti dulu. Walau anak Mama ada dua, cinta Mama untuk kalian bulat sempurna." 

Mas Amay, ingat selalu pesan Mama ya; Jadilah anak yang sholih karena Mama dan Papa akan selalu mengharapkan do'a-do'a yang tulus keluar dari bibirmu. Jadilah anak yang bermanfaat untuk semua. Pelihara hatimu. Kau tahu? Kau adalah anak Mama yang lembut hati dan berjiwa mulia. Jangan lupa untuk menjaga adik Aga, sayangi ia selalu. Bimbing ia, tegur ia jika berlaku salah. Rukun selalu bersamanya, karena kalian semua adalah cinta Mama. Mama bahagia memiliki kalian berdua. 


Adik Aga,
Kau tahu? Selain Mama dan Papa, ada yang sabar menunggu kelahiranmu. Iya, dia adalah Mas Amay. Dulu, Mas Amay selalu berdo'a di perut Mama. Katanya; "Adik, sehat-sehat terus ya. Nanti keluarnya yang gampang ya. Mas Amay sayang adik." Mas Amay juga yang menemani Mama dan Papa di rumah sakit. Mereka selalu bersabar menantimu, dan selalu mendo'akan kelahiranmu.

Adik Aga,
Kau tahu? Ada yang setia menjagamu ketika Mama sibuk di dapur. Iya, dialah Mas Amay yang selalu berkata; "Ceep, ceep adik...jangan nangis. Mas Amay disini lho." Ohya, Mas Amay adalah kakak yang baik. Mas Amay tidak akan rela meminjamkanmu pada orang lain. Jika ada orang lain menggendongmu, Mas Amay selalu khawatir kau akan dibawa pergi. Kenapa? Karena rasa sayang Mas Amay sangat besar padamu.
Jadi, Adik Aga harus jadi adik yang baik ya... Yang sholih... Rukun selalu bersama Mas Amay. Saling sayang menyayangilah kalian, karena tidak ada yang lebih membahagiakan Mama dan Papa selain melihat kalian tumbuh bersama, saling sayang satu dengan yang lainnya. 


Mas Amay dan Adik Aga, ingat selalu ya; Berapapun banyaknya anak Mama, cinta Mama pada kalian tetap bulat sempurna. :)
Read More

Sharing Pengalaman Menghasilkan Uang (2)

Thursday, October 23, 2014

Sebelumnya saya telah menulis tentang Sharing Pengalaman Menghasilkan Uang bagian 1 disini. Sekedar berbagi, bahwa dari kisah yang terjadi sehari-hari, asalkan kita peka menangkapnya menjadi sebuah momen berarti, kemudian menuliskannya, maka akan menjadi rezeki untuk kita.
Inilah yang saya lakukan. Setelah belajar menjadi penulis Jon Koplo (julukan yang diberikan oleh suami karena beberapa kali tulisan saya dimuat di rubrik “Ah Tenane” Solopos), saya pun menuliskan kisah lucu lainnya ke media yang lain. Kali ini Reader’s Digest lah sasarannya.
Cerita lucu saya yang dimuat disana bercerita tentang kelucuan Amay, putra pertama saya. Anak itu sedang lucu-lucunya kalau bicara. Kadang memang saya tuliskan di status facebook, tapi ada juga yang saya kirim ke media.
Ada tiga rubrik yang bisa disasar disana, yaitu Humoria, HahaHihi, kemudian 9 to 5. Untuk rubrik terakhir, yaitu 9 to 5, lebih dikhususkan untuk candaan yang terjadi di tempat kerja. Untuk lebih jelasnya, supaya ada bayangan tulisan-tulisan yang dimuat disana, teman-teman bisa membeli majalah ini dengan harga Rp 25.000,-. Majalah ini terbit bulanan yaa..
Pokoknya, kalau teman-teman punya kisah lucu, menggelikan, atau memalukan, kirim saja ke RDI (Reader’s Digest Indonesia). Syaratnya, tidak lebih dari 100 kata, dan cerita belum pernah dipublikasikan. Imbalannya, lebih besar dari yang “itu”. Dua kali lipatnya, tapi itu nilai sebelum dipotong pajak dan biaya transfer yaa.. Yah, pokoknya lumayan besar lah.
Oya, asiknya, majalah ini profesional sekali. Apabila kisah kita dimuat, kita akan mendapatkan bukti terbitnya, dilampiri sebuah surat yang bisa kita isi untuk pengiriman honor. Jadi nggak perlu nagih-nagih lagi. Asik kan?
Jadi tunggu apa lagi? Ayo ingat-ingat peristiwa lucu yang pernah teman-teman alami, tulis, lalu kirimkan ke alamat email Redaksi Reader’s Digest Indonesia: editor.rd@feminagroup.com
Read More

Enam Tahun Ibu

Friday, October 17, 2014

Oktober datang, hujan pun menyambang. Dan tiap kali rerintik itu menyapa bumi, yang kuingat adalah sosok almarhumah ibu tersayang.

Seperti lagu yang dilantunkan Opick bersama Amanda, Satu Rindu, rindu ini pun menderu-deru. Persis sama dengan yang Opick tulis dalam liriknya, saya pun memohon pada-Nya, pada Sang Pencipta;

"Allah, ijinkanlah aku
Bahagiakan dia
Meski dia t'lah jauh
Biarkanlah aku, berbakti untuk dirinya"

"Terbayang satu wajah, penuh cinta
Penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan..."





Kenangan indah bersama ibu, bertebaran dalam memori saya. Setiap mengingatnya, rasanya sakit sekali hingga berlinangan air mata penuh penyesalan. Andai bisa sekali saja menarik waktu, saya ingin mengulang masa lalu untuk bisa memperbaiki semuanya, sehingga bisa membuat beliau bangga dan bahagia memiliki saya sebagai putrinya.

Pengorbanan ibu tak pernah putus, bahkan hingga beliau menutup mata. Saya ingat betul, dulu sewaktu saya duduk di bangku kelas 3 SD, kebetulan saya selalu mendapat ranking 1. Ibu, yang teramat bangga dengan prestasi saya, berinisiatif membelikan sepatu baru seusai saya menempuh Ulangan Umum Caturwulan 3. Katanya dalam bahasa jawa, siapa tahu nanti Arin dapat juara lagi, malu kan kalau pas dipanggil ke depan saat penyerahan hadiah kelihatan sepatunya mangap?  Duh, kalau mengingat saat itu, rasa sesal semakin dalam karena saya tidak bisa menjadi apa yang beliau inginkan.

Pengorbanan lain yang lekat dalam ingatan, tiap malam beliau "beroperasi" memasuki kamar-kamar kami. Dan paginya, kami menyadari, goresan di dinding yang berasal dari darah nyamuk-nyamuk pun bertambah. Iya, ibu selalu melakukannya setiap malam. Memeriksa apakah ada nyamuk yang kurang ajar menggigiti anaknya? Ibu, mengesampingkan rasa kantuknya demi kami.

Ada banyak lagi kenangan bersamanya yang tak kan selesai dituliskan. Satu yang pasti, "Hanya di pangkuan ibu, semua gundah, gelisah, dan amarah akan punah. Hanya dalam pelukan ibu, empedu akan terasa bak madu." 

Hari ini, enam tahun sejak kepergiannya, Jum'at 17 Oktober 2008 lalu. Perasaan saya sejak pagi tadi, antara sedih, rindu, juga haru. Saya merindukan sesi curhat bersamanya. Saya merindukan belaian lembut tangannya yang kasar karena bekerja keras, di kepala dan punggung saya. Ingin sekali saya katakan padanya, "Ibu, sebentar lagi cucumu akan bertambah satu. Andai ibu masih ada, tentu ibu bisa menemaniku disaat persalinan nanti. Memberiku semangat, kekuatan, juga do'a."

Sekarang ini, yang bisa saya lakukan hanyalah berdo'a, supaya Allah menyayanginya, mengharamkan api neraka menyentuhnya, mengampuni dosanya, melapangkan kuburnya, dan berkenan mempertemukan kami kelak di jannah-Nya. Aamiin...

Read More

Mustofa: Oleh-oleh Dari Majalengka

Thursday, October 16, 2014

Siapa yang tahu apa itu Mustofa? Bukan, ini bukan nama orang yaa. Ini nama makanan. Hehe..kedengarannya lucu ya? Saya saja sampai susah menahan tawa saat mendengarnya.

Lalu makanan seperti apa sih Mustofa itu? Ternyata, ini makanan kesukaan suami saya. Kami sih biasa menyebutnya kering kentang balado. Namun di Majalengka sana, makanan seperti ini lebih dikenal dengan nama Mustofa. Entahlah bagaimana sampai dinamakan Mustofa. Mungkin, dulunya ada yang menjual makanan ini dengan merk Mustofa. Atau mungkin juga Pak Mustofa-lah yang pertama kali menemukan resep makanan enak ini.



Seperti yang saya jelaskan di atas, Mustofa ini sebenarnya adalah kering kentang balado. Jadi jelas bahan baku utamanya adalah kentang.

Saat hajatan pernikahan adik ipar saya hari minggu lalu, Mustofa menjadi salah satu makanan yang disajikan. Saat saya mencicipi, saya langsung berkata pada Mama mertua, "Mama, Arin mau ini. Besok arin bawa ke Solo yaa.." Hehe..habis enak sih. Alhamdulillah, masih ada sisa sehingga saya bisa membawanya. Lumayan buat cemilan atau tambahan lauk. Suami saya, jangan ditanya deh, sepiring pun habis olehnya sendiri.

Kata Mama, yang membuat Mustofa ini renyah adalah karena bahan bakunya yang merupakan kentang pilihan. Kentangnya adalah kentang yang berasal dari daerah Dieng. Iseng saya browsing, apa sih keunggulan kentang Dieng dibanding kentang lainnya? Ternyata, selain ukurannya yang relatif lebih besar, kadar air kentang Dieng juga lebih tinggi sehingga kentang Dieng memiliki daya tahan yang lebih baik. Selain itu, kadar karbohidrat dan gulanya juga rendah.

Cara membuatnya sih sama seperti membuat kering kentang balado yang lain. Iris kentang kecil-kecil, goreng hingga benar-benar garin, lalu masukkan ke dalam bumbu balado yang sudah disiapkan. Aduk deh sampai rata.

Nah, siapa yang mau makanan ini? Hehe, datang saja ke hajatannya orang Majalengka, hihi, siapa tahu ada menu ini di hidangannya. :D


Read More

Jodoh Pasti Bertemu

Friday, October 3, 2014

Pernah denger lagunya Kangmas Afgan yang judulnya “Jodoh Pasti Bertemu” kan? Percaya atau tidak? Katanya, jodoh harus dikejar. Jadi, percaya yang mana nih? Menunggu atau mencari? Hehe.. Saya sih percaya dua-duanya.

E tapi, jodoh itu nggak cuma soal PH alias pendamping hidup loh. Cari tanah atau rumah, juga tergantung jodoh. Kalau nggak berjodoh, mau punya uang sebanyak apa juga nggak akan termiliki. Sama aja dengan, jatuh cinta dengan rumah yang kayak gimana, tapi kalau uangnya nggak ada juga cuma bisa gigit jari. *Eh, lha koq jadi curhat? :p

Pekerjaan pun begitu. Dan masih banyak hal lainnya yang tergantung jodoh, termasuk tulisan. Kalau teman-teman menggeluti dunia tulis-menulis, pasti sudah paham lah ya...

Saya mengalaminya. Sebagai penulis pemula, benar-benar pemula, saya belajar dari banyak orang. Kata teman-teman, yang perlu kita lakukan untuk menjadi penulis adalah, menulis, menulis, dan menulis, lalu membaca. Kalau membaca, itu memang hobi saya. Tapi menulis, meskipun bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang remeh temeh, bagi saya ini adalah kegiatan yang susah susah gampang. Iya, karena saya masih sering merasa kesulitan untuk menuangkan apa yang saya pikirkan menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca.


Singkatnya, suatu hari muncullah sebuah ide di kepala untuk dijadikan cerita pendek. Nah, penyakit saya adalah, sulit menciptakan ending yang berkesan. Tapi entah mengapa kali itu saya mengeksekusi dengan cukup mudah. Mungkin karena ini cerita anak, dan saya terbiasa mengarang cerita untuk Amay, jadi sedikit mudah bagi saya menyelesaikan ceritanya. 

Saya pun merasa percaya diri untuk mengirimkan cernak saya itu ke sebuah koran. Menurut saya, cerita yang saya buat memiliki amanah atau pesan yang positif untuk membangun karakter seorang anak. Menurut saya loh yaa...dan karena itu saya pun harap-harap cemas menanti kabar dari koran tadi. Cerita saya kirimkan melalui email. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, saya setia menanti kabar. Namun, tidak juga ada tanggapan. Saya pun menanyakan nasib naskah cernak saya tadi, akan tetapi sayangnya pihak koran tersebut kurang interaktif. Email saya didiamkan, hiks hiks. Lalu apakah saya menyerah? No!! Saya kembali mengirimkan email ke koran tersebut, namun kali ini isinya tentang niat saya menarik kembali naskah yang telah saya kirim.

Baiklah, akhirnya saya kabur dari koran tadi. Huhuhu, tahu kan rasanya dicuekin? Tapi ya, bukan Arin namanya kalau langsung menyerah. Berbekal rasa percaya diri bahwa cernak yang saya buat itu bagus, wehehehe, akhirnya saya kembali mengirimkannya. Kali ini ke sebuah lomba. Ups, tapi ternyata ada batasan karakter di persyaratannya. Ya, terpaksa deh, mengedit lagi. Saya potong beberapa bagian, dan saya efektifkan kalimat demi kalimat di dalamnya, sehingga cerita anak yang tadinya sepanjang empat halaman, kini menjadi dua halaman saja. Mudahkah? Tentu tidak! Saya butuh waktu seminggu hingga akhirnya benar-benar mantap untuk mengirimkan naskah itu ke email panitia lomba.

Wis, saat itu saya cuma bisa berdo'a lalu pasrah. Tiba di hari pengumuman yang dijanjikan, ternyata panitia mengumumkan bahwa pengumuman pemenang diundur satu bulan karena jumlah naskah yang masuk lebih dari 1000. Wow, makin jiper saya. Apalagi saya tahu bahwa saingan-saingan saya beuraaattt... Rata-rata mereka adalah penulis yang sudah sering nangkring di majalah anak. 

Saya terus berdo'a. Masih ada satu bulan kan untuk melangitkan harapan? Dan Alhamdulillah, di hari yang dijanjikan, pemenang pun diumumkan. Saya termasuk di dalamnya, meskipun hanya juara harapan. Hehe...akhirnya, keyakinan saya terbukti. Tulisan saya ada pesan moralnya, dan layak untuk ditampilkan. Ini kembali meningkatkan rasa percaya diri.

Selanjutnya, saya masih menunggu jawaban dari naskah-naskah yang telah saya tulis dan saya kirimkan. Saya tahu di luar sana persaingan teramat ketat. Banyak penulis yang bermunculan dengan ide dan karya-karya yang luar biasa. Tapi kalau saya tidak bertekad untuk menang dari mereka, ya saya akan begini-begini saja. Iya kan? :D


Read More

Kisah Dibalik Mukena Putih

Thursday, October 2, 2014


Tiap kali melihat mukena terusan berwarna putih, hati saya tergetar. Ingatan saya berlari ke masa dua puluh tahun silam. 

Saat itu, usia saya baru enam tahun. Mbah (nenek dari pihak bapak), mengajak saya ikut ke pengajian yang terletak di desa seberang. Benar-benar seberang, karena untuk mencapai desa itu saat itu kami harus menyeberangi sebuah sungai.

Sebelumnya, Mbah meminta ijin pada ibu untuk "meminjam" saya sebagai teman perjalanan. Ibu mengijinkan, tentu saja. "Kasihan Mbah kalau tidak ada teman," begitu yang selalu diucapkannya. 

Setelah bersiap-siap, kami pun berangkat. Mbah tak lupa membawa jarik (kain/selendang) berwarna merah, untuk menggendong saya sewaktu-waktu saya lelah berjalan. Detail warna dan motif jarik itu masih saya ingat dengan jelas.

Benda lain yang juga dibawa adalah sebuah payung berukuran besar, karena hari terlihat sedikit mendung. Selain itu, ada sedikit makanan kecil yang disimpan di tas pengajiannya.

Kami berjalan pelan-pelan pagi itu, melintasi jalan-jalan sempit di antara pesawahan. Sesekali Mbah bertanya, "Kesel po ra? (Capek tidak?)", dan Mbah pun mengajak saya berhenti sejenak untuk beristirahat sambil menyantap bekal.

Kami hampir mencapai sungai ketika hujan mulai turun rintik-rintik. Gemuruh aliran air makin jelas terdengar. Mbah membuka payung dan mengeluarkan jarik merah dari tasnya untuk digunakannya menggendong saya.

Tiba di tepi sungai, Subhanallah...banjir. Air berwarna keruh seperti kopi susu mengalir di depan kami. Saya yang saat itu hanya setinggi perut Mbah, mendongak ke atas, menatap wajah Mbah. "Akankah perempuan kecil yang sudah sepuh ini mundur, lalu mengajakku pulang?"

Ternyata tidak. Dikencangkannya jarik yang mengikat saya dengan tubuhnya itu. Dipegangnya payung besar dengan tangan kanan. Dilepasnya sandal, lalu dipegangnya dengan tangan kiri, sembari tangan kiri itu memastikan saya aman di gendongannya. Bismillah, kakinya siap melangkah menembus air keruh yang tingginya mencapai dadanya.

Saya menahan tangis, ngeri dan takut kalau-kalau kami hanyut. Apalagi jika ingat cerita ibu bahwa di sini, di kali yang kami seberangi ini, ada ikan sebesar mesin jahit yang siap menyantap anak kecil yang bermain di sana. Tentu cerita ibu itu hanya untuk menakut-nakuti saya agar tidak bermain di sungai tanpa sepengetahuan orang tua. 

Tiba-tiba, Mbah terpeleset, hampir jatuh. Sebuah sandal di tangan kirinya lepas, hanyut terbawa air. Mbah mencoba menjangkau sandal itu dengan tangan kirinya yang masih memegang satu sandal yang lain. Namun menyadari bahwa ini tidak akan berhasil, beliau merelakan sandal kesayangannya itu.

Kami basah kuyup, tidak saja karena terkena air hujan dari atas, tapi juga karena air sungai yang setinggi dada Mbah. Rasanya, payung itu jadi tidak berguna sama sekali.

Tak lama kemudian, akhirnya kami bisa mencapai tepi desa seberang. Bersyukur sekali saya saat itu. Tapiii, tas pengajian Mbah yang berusi Al-Qur'an dan mukena, basah. Begitu juga baju kami berdua. Akhirnya, Mbah memutuskan untuk menjemur mukenanya di dahan pohon yang terletak di tepi sungai. Jaman dulu, mukena dijemur di tepi sungai tanpa ditunggu pun tidak hilang, hehe..


Sungai
Sungai ini yang kami seberangi kala itu
 
 
Mukena terusan berwarna putih polos itu, menjadi saksi perjuangan kami menaklukkan derasnya sungai. Saksi perjuangan Mbah yang berniat menuntut ilmu.

Setelah selesai menjemur mukena, kami melanjutkan perjalanan melewati ladang dan sawah, menuju rumah kakak perempuan Mbah. Disana, Mbah mengganti pakaiannya, meminjam baju kakaknya. Masjid tempat pengajian ada tepat di sebelah utara rumah kakak perempuannya itu. Saya, dipinjami pakaian ganti oleh sepupu saya yang juga tinggal di samping rumah kakak perempuan Mbah. 

Rasanya, perjalanan kami hari itu, antara mengerikan sekaligus mengharukan. Betapa perjuangan Mbah untuk mencari ilmu sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat sangat patut diteladani.

Dan hari ini, di 16 tahun kepergiannya, saya bersaksi bahwa Mbah adalah teladan yang sholihah. Beliau membagi ilmu dengan ikhlas, mengajar mengaji seluruh anak-anak kecil di kampung saya tanpa pernah meminta imbalan. Beliau juga selalu bersemangat menimba ilmu, hingga ke tempat yang jauh, meskipun untuk mencapai tempat itu beliau hanya mengandalkan kedua kakinya. Masya Allah :)





Read More