Showing posts with label film. Show all posts
Showing posts with label film. Show all posts

Heidi; Film, Buku, dan Sepotong Rindu

Friday, October 9, 2015

Heidi


Saya bukan pecandu film, yang menjadikan aktivitas menonton film sebagai rutinitas. Saya juga bukan tipe orang yang gemar "mencari" film yang bagus. Biasanya saya baru menonton film setelah teman-teman merekomendasikannya. Maka wajar saja jika saya jarang pergi ke bioskop, karena saya lebih sering menonton film di rumah. Tapi bukan berarti saya belum pernah ke bioskop yaa, hehe... Sesekali sih pernah, menyegaja kesana untuk melihat film yang sedang diputar. Dan pasca menikah kurang lebih enam tahun ini, saya baru sekali menonton film di bioskop, rame-rame dengan suami dan si sulung. Itu pun "Walking with Dinosaurs" yang kami tonton, karena Amay suka sekali dengan dinosaurus.

Saya kurang suka film action. Saya juga kurang suka film-film dari hollywood. Kalaupun ada, paling hanya beberapa. Hehe...biar lah saya dibilang udik.

Omong-omong soal film, beberapa hari lalu ketika beberes rumah, saya menemukan sebuah buku lama, Heidi judulnya.


dok. pribadi

Lima tahun lalu ketika menemukan buku ini, saya seolah mendapat harta karun. Heidi, buku karya Joanna Spyri ini, pernah saya lihat sekilas dalam bentuk film, dua puluh tahunan yang lalu. Waktu itu, sambil menatap layar kaca dua warna (hitam putih) berukuran 14 inch, saya menyaksikan sebuah penggalan film.

Yang membuat momen itu berkesan adalah karena saya melihatnya bersama almarhumah ibu tercinta. Ibu melarang saya memutar channel yang lain, karena menurut beliau film itu bagus. Dan kata ibu, beliau pernah menonton film ini sebelumnya. Saya patuh, meskipun saat itu saya kurang menikmati film itu.

Yang sangat saya ingat dalam film itu adalah ketika seorang gadis kecil menderita sakit hingga membuatnya tak mampu berjalan. Sepanjang hari, ia harus rela menghabiskan waktunya duduk di atas kursi roda. Kemudian suatu hari ia pergi ke sebuah tempat yang asri. Disana ia tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi padang rumput yang hijau. Dan ajaibnya, setelah beberapa lama tinggal disana, ia bisa kembali berjalan.

Saya pikir gadis kecil yang lumpuh itulah yang bernama Heidi, tapi ternyata bukan. Maklum lah, karena film itu berbahasa inggris, saya yang masih kecil saat itu, kurang paham dengan jalan ceritanya. Namun buku ini membantu saya mengetahui jalan cerita sesungguhnya.

*

Heidi, adalah seorang gadis yang telah yatim piatu. Bibinya kemudian membawanya pada kakeknya yang tinggal di gunung. Alasannya saat itu adalah karena ketiadaan biaya, dan ia harus bekerja ke Frankfurt. 


www(dot)planet-series(dot)tv


Selang beberapa lama, Heidi yang sudah terlanjur betah hidup berdua dengan kakeknya kembali dijemput oleh Bibi Detie. Bibi Detie mengatakan bahwa ia telah menemukan sebuah keluarga yang mau menampung Heidi. Keluarga tersebut memiliki anak seumuran Heidi, Clara, yang sedang sakit. (Clara inilah yang sebelumnya saya kira adalah Heidi) 


mirvideo(dot)tv



Clara yang merupakan anak orang kaya, menyukai Heidi yang baik hati. Suatu hari, Heidi jatuh sakit. Sakitnya ini karena dia mengalami homesick dan ingin kembali pada kakeknya di gunung. Keluarga Clara pun dengan berat hati mengirimnya pulang. 

Singkat cerita, Clara yang merindukan Heidi pun menyusul gadis kecil itu. Di sanalah, di rumah-gunung milik kakek Heidi itu, akhirnya Clara bisa sehat dan dapat berjalan kembali.

Pesan moral yang saya dapatkan dari kisah Heidi adalah; "money could only buy material things, but it could not buy happiness."

Film Heidi, meskipun hanya sepenggal yang saya lihat, tapi ceritanya benar-benar melekat. Ini adalah satu-satunya film yang bisa membuat saya terkesan hingga puluhan tahun lamanya, dan belum tergeser oleh film lain.


Mungkin banyak film lain yang lebih bagus, namun history di belakang film ini lah yang membuatnya istimewa. Seperti ketika kita menemukan pasangan, meskipun banyak yang lebih kaya dan rupawan, tapi yang istimewa lah yang membuat hati kita tertawan. :D



Read More

Belajar Tentang Anger Management dari Film Taare Zameen Par

Sunday, September 1, 2013


Beberapa waktu lalu saya menyaksikan film India berjudul "Taare Zameen Par". Sebenarnya, film itu sudah cukup lama dirilis, yaitu tepatnya pada tanggal 21 Desember 2007. Namun saya baru mengetahui ada film sebagus itu setelah diskusi dengan beberapa teman tentang film-film yang menarik dan bermanfaat untuk ditonton.



Taare Zameen Par

Diperankan oleh Aamir Khan sebagai Ram Shankar Nikumbh dan Darsheel Safary sebagai Ishaan Awasthi, film ini bercerita tentang seorang anak (Ishaan) yang dianggap bodoh oleh orang tua, bahkan oleh guru-gurunya juga. Anak itu hampir kehilangan semangat dan rasa percaya diri karena setiap hari yang ia dengar hanyalah umpatan dan kutukan "tak becus" dari orang-orang di sekelilingnya. Suara bentakan, teriakan keras dari ayah dan guru-gurunya, menjadi makanan tiap hari. Pandangan matanya seolah berteriak minta tolong, seolah dengan kata-kata saja tak cukup untuk mengeluarkan isi hatinya. Tak ada yang mau mendengar jeritan hatinya.

Ishaan adalah seorang anak yang menderita dyslexia. Di usianya yang ke-9 ia belum bisa membedakan huruf-huruf yang hampir sama, seperti b dan d, p dengan q, dan yang sejenisnya. Ia juga sering terbalik dalam menuliskan beberapa huruf dan angka. Memang, penderita dyslexia kebanyakan memiliki ketidakmampuan dalam belajar yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Namun begitu, Ishaan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam hal melukis. Sebuah bakat yang dianggap tak bermanfaat oleh kebanyakan orang.

Inspiratif sekali. Film ini mengajarkan kita bagaimana menghadapi anak yang tak biasa, juga mengingatkan kita bahwa tak ada anak yang bodoh. Yang ada hanyalah anak dengan kemampuan yang berbeda, karena cepat atau lambat mereka pasti bisa menguasai apa yang telah dan sedang mereka pelajari. Dan yang harus digarisbawahi, kecerdasan itu tak melulu bicara soal matematika, fisika, atau kimia.

Pesan moral yang saya tangkap adalah, memaksa anak untuk menjadi seperti ambisi kita, lebih buruk daripada menyuruh mereka menjadi seorang kuli. Memaksa anak untuk bisa menguasai segalanya, menuntut untuk bisa selalu menjadi juara, justru akan membuatnya benci pada ilmu yang seharusnya ia pelajari dengan senang hati.

Setiap anak dilahirkan unik. Mereka punya impian dan kemampuannya sendiri, dan kewajiban kita adalah menghormati pilihan mereka supaya jiwa mereka berkembang dengan baik.






Dari film itu juga saya dapatkan pelajaran baru, kisah tentang penduduk Pulau Solomon (yang baru saya tahu), apabila mereka ingin membuka lahan baru untuk bercocok tanam, mereka tak perlu repot-repot menebangi pohon. Yang mereka lakukan adalah mengelilingi lahan itu sambil mengumpat dan mengutukinya, dan ajaibnya beberapa hari kemudian pohon-pohon disana akan berubah layu, siap untuk dijadikan lahan bercocok tanam yang baru. Mahmud Mahdi Al-Istanbuli menuliskan dalam buku Parenting Guide, "Jagalah anak, jangan sampai anak tersugesti__baik sengaja maupun tidak__dengan pikiran dan perbuatan yang dapat melemahkan kepribadian anak." 

Poin terpenting yang harus kita ingat sebagai orang tua adalah, bahwa setiap perkataan adalah do'a. Pernah mendengar kisah Syeikh Abdurrahman as-Sudais bukan? Beliau ketika kecil, pernah membuat marah ibunya karena dengan tangan mungilnya, beliau menyebarkan debu ke atas jamuan makan yang disediakan sang ibu untuk para tamu. Namun, dalam marahnya sang ibu berkata, "Jadilah kamu Imam di Masjidil Haram!!", dan itu benar-benar terjadi hingga sekarang suara beliau sering kita dengar dalam Murotal. 

Marah itu wajar. Namun, mampukah kita tetap berucap sesuatu yang baik dalam kondisi semarah apapun? :)




Read More