“Mereka
datang dalam keadaan baik dan bersih
Nanti,
jika saatnya tiba,
Bisakah
aku mengembalikannya sebersih semula?
Sanggupkah
dagu kita tegak di hadapan-Nya
Sambil
berkata, “Wahai Tuhanku, telah kutunaikan tugasku
Telah
kujalankan amanah-Mu.”
Puisi di atas adalah sepenggal pendahuluan
yang bisa kita temukan dalam buku “Parenting With Heart” karya Elia Daryati dan
Anna Farida. Syahdu bukan? Tidak berlebihan ‘kan jika setelah membacanya hati
saya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan penyesalan yang amat dalam?
Iya, buku “Parenting With Heart” itu bisa
membuat mata saya terpaku membaca kalimat demi kalimat, hingga terkadang
keduanya mengembun bahkan menganak sungai. Buku ini menyentil nurani saya,
hingga saya tersadar bahwa saya masih sangat jauh dari predikat “ibu yang
baik”.
Dan kini, sebuah buku baru terlahir dari
penulis yang sama, Ibu Elia Daryati dan Mbak Anna Farida. “Marriage With
Heart”, begitulah judulnya.
Sama seperti buku sebelumnya, buku ini
disampaikan dengan bahasa yang ringan dan lugas sehingga mudah dicerna. Isinya
tidak seperti buku-buku pernikahan kebanyakan, yang biasanya mengulas secara
kaku tentang hak dan kewajiban suami istri dalam pandangan agama, lengkap dengan
hukum fiqih dan dalil-dalilnya. Buku ini bisa kita nikmati kata demi kata tanpa
harus membuat kening berlipat lima. Walaupun penulisnya adalah muslimah, Marriage With heart tidak hanya
diperuntukkan untuk orang Islam saja. Bahasanya universal, dan bisa
diaplikasikan oleh pemeluk agama apapun.
Yang menarik, membaca buku ini, saya seperti
membaca jawaban-jawaban dari curhatan kebanyakan orang. Bahwa masalah dalam
rumah tangga itu tidak hanya seputar urusan ranjang saja, tapi ternyata ada
banyak hal lain yang mungkin luput dari pengamatan kita.
Hubungan antara mertua dan menantu yang tak
harmonis, mungkin jadi salah satu yang sering kita lihat memicu retaknya sebuah
ikatan perkawinan. Ups, jadi ingat sebuah iklan di televisi yang seolah
menggambarkan begitu seramnya sosok ibu mertua, padahal nggak semua mertua
begitu lho, contohnya mertua saya.
Selain itu, adanya PIL atau WIL, juga kerap
menjadi bara dalam rumah tangga. Lalu bagaimana sebaiknya suami atau istri
sebaiknya bersikap jika ada penelusup dalam rumah tangganya? Amit-amit deh, ya,
semoga kita nggak mengalaminya. Namun jika sudah terlanjur ada, buku ini memuat
beberapa saran penyelesaiannya.
Masalah lain yang dibahas, banyak!
Anda punya anak tiri? Sedang menjalani LDR?
Atau merasa tak berguna karena “hanya” menjadi ibu rumah tangga? Atau, pasangan
Anda kecanduan media sosial bahkan CLBK dengan mantannya? Atau merasa punya
kesenjangan ekonomi dengan pasangan, merasa seperti ATM yang bisa selalu keluar
uang? Eh, jangan salah, walaupun kelihatannya sepele, tapi jika berlarut-larut,
bisa bikin hubungan dengan pasangan makin kusut.
Makanya, ada tips dan trik supaya keharmonisan
rumah tangga menjadi awet adanya. Penasaran? Beli saja bukunya. Saran saya,
jangan dibaca sendirian. Ajak pasangan Anda membacanya juga, supaya bisa
belajar bersama-sama, dan pernikahan bisa dijalani dengan kompak sehingga bisa
mencapai tujuan yang diinginkan.
Seperti tanaman, romantisme terhadap pasangan
juga perlu dirawat agar tumbuh sesuai harapan. Komunikasi, baik secara verbal
maupun sentuhan, penting dipelajari. Malu? Bingung memulainya bagaimana? Ibu
Elia dan Mbak Anna membagi semua tipsnya. Bahkan, di halaman 156, mereka
memberi bocoran sebuah link yang bisa Anda buka untuk melihat bagaimana lelaki
Jepang menyatakan cinta pada istrinya. Ini bisa menjadi ide juga, bukan?
~~~
Pernikahan memang merupakan sebuah perjanjian
yang berat, yang menyertakan Tuhan semesta alam. Allah mengirimkan kepada kita
seseorang yang tak sepenuhnya kita kenal. Pasangan kita itulah yang menjadi
teman hidup dan teman beribadah kita, tim yang kuat untuk pulang menuju Tuhan.
Lalu apa yang akan Anda katakan ketika Anda dan pasangan sama-sama berada di
hadapan-Nya kelak?
Semoga nanti di hari akhir, pasangan kita akan
berkata, “Ya Allah, aku bersyukur Engkau telah memberikan dia kepadaku.
Sesungguhnya aku ridha kepadanya.”