Mustofa: Oleh-oleh Dari Majalengka

Thursday, October 16, 2014

Siapa yang tahu apa itu Mustofa? Bukan, ini bukan nama orang yaa. Ini nama makanan. Hehe..kedengarannya lucu ya? Saya saja sampai susah menahan tawa saat mendengarnya.

Lalu makanan seperti apa sih Mustofa itu? Ternyata, ini makanan kesukaan suami saya. Kami sih biasa menyebutnya kering kentang balado. Namun di Majalengka sana, makanan seperti ini lebih dikenal dengan nama Mustofa. Entahlah bagaimana sampai dinamakan Mustofa. Mungkin, dulunya ada yang menjual makanan ini dengan merk Mustofa. Atau mungkin juga Pak Mustofa-lah yang pertama kali menemukan resep makanan enak ini.



Seperti yang saya jelaskan di atas, Mustofa ini sebenarnya adalah kering kentang balado. Jadi jelas bahan baku utamanya adalah kentang.

Saat hajatan pernikahan adik ipar saya hari minggu lalu, Mustofa menjadi salah satu makanan yang disajikan. Saat saya mencicipi, saya langsung berkata pada Mama mertua, "Mama, Arin mau ini. Besok arin bawa ke Solo yaa.." Hehe..habis enak sih. Alhamdulillah, masih ada sisa sehingga saya bisa membawanya. Lumayan buat cemilan atau tambahan lauk. Suami saya, jangan ditanya deh, sepiring pun habis olehnya sendiri.

Kata Mama, yang membuat Mustofa ini renyah adalah karena bahan bakunya yang merupakan kentang pilihan. Kentangnya adalah kentang yang berasal dari daerah Dieng. Iseng saya browsing, apa sih keunggulan kentang Dieng dibanding kentang lainnya? Ternyata, selain ukurannya yang relatif lebih besar, kadar air kentang Dieng juga lebih tinggi sehingga kentang Dieng memiliki daya tahan yang lebih baik. Selain itu, kadar karbohidrat dan gulanya juga rendah.

Cara membuatnya sih sama seperti membuat kering kentang balado yang lain. Iris kentang kecil-kecil, goreng hingga benar-benar garin, lalu masukkan ke dalam bumbu balado yang sudah disiapkan. Aduk deh sampai rata.

Nah, siapa yang mau makanan ini? Hehe, datang saja ke hajatannya orang Majalengka, hihi, siapa tahu ada menu ini di hidangannya. :D


Read More

Jodoh Pasti Bertemu

Friday, October 3, 2014

Pernah denger lagunya Kangmas Afgan yang judulnya “Jodoh Pasti Bertemu” kan? Percaya atau tidak? Katanya, jodoh harus dikejar. Jadi, percaya yang mana nih? Menunggu atau mencari? Hehe.. Saya sih percaya dua-duanya.

E tapi, jodoh itu nggak cuma soal PH alias pendamping hidup loh. Cari tanah atau rumah, juga tergantung jodoh. Kalau nggak berjodoh, mau punya uang sebanyak apa juga nggak akan termiliki. Sama aja dengan, jatuh cinta dengan rumah yang kayak gimana, tapi kalau uangnya nggak ada juga cuma bisa gigit jari. *Eh, lha koq jadi curhat? :p

Pekerjaan pun begitu. Dan masih banyak hal lainnya yang tergantung jodoh, termasuk tulisan. Kalau teman-teman menggeluti dunia tulis-menulis, pasti sudah paham lah ya...

Saya mengalaminya. Sebagai penulis pemula, benar-benar pemula, saya belajar dari banyak orang. Kata teman-teman, yang perlu kita lakukan untuk menjadi penulis adalah, menulis, menulis, dan menulis, lalu membaca. Kalau membaca, itu memang hobi saya. Tapi menulis, meskipun bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang remeh temeh, bagi saya ini adalah kegiatan yang susah susah gampang. Iya, karena saya masih sering merasa kesulitan untuk menuangkan apa yang saya pikirkan menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca.


Singkatnya, suatu hari muncullah sebuah ide di kepala untuk dijadikan cerita pendek. Nah, penyakit saya adalah, sulit menciptakan ending yang berkesan. Tapi entah mengapa kali itu saya mengeksekusi dengan cukup mudah. Mungkin karena ini cerita anak, dan saya terbiasa mengarang cerita untuk Amay, jadi sedikit mudah bagi saya menyelesaikan ceritanya. 

Saya pun merasa percaya diri untuk mengirimkan cernak saya itu ke sebuah koran. Menurut saya, cerita yang saya buat memiliki amanah atau pesan yang positif untuk membangun karakter seorang anak. Menurut saya loh yaa...dan karena itu saya pun harap-harap cemas menanti kabar dari koran tadi. Cerita saya kirimkan melalui email. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, saya setia menanti kabar. Namun, tidak juga ada tanggapan. Saya pun menanyakan nasib naskah cernak saya tadi, akan tetapi sayangnya pihak koran tersebut kurang interaktif. Email saya didiamkan, hiks hiks. Lalu apakah saya menyerah? No!! Saya kembali mengirimkan email ke koran tersebut, namun kali ini isinya tentang niat saya menarik kembali naskah yang telah saya kirim.

Baiklah, akhirnya saya kabur dari koran tadi. Huhuhu, tahu kan rasanya dicuekin? Tapi ya, bukan Arin namanya kalau langsung menyerah. Berbekal rasa percaya diri bahwa cernak yang saya buat itu bagus, wehehehe, akhirnya saya kembali mengirimkannya. Kali ini ke sebuah lomba. Ups, tapi ternyata ada batasan karakter di persyaratannya. Ya, terpaksa deh, mengedit lagi. Saya potong beberapa bagian, dan saya efektifkan kalimat demi kalimat di dalamnya, sehingga cerita anak yang tadinya sepanjang empat halaman, kini menjadi dua halaman saja. Mudahkah? Tentu tidak! Saya butuh waktu seminggu hingga akhirnya benar-benar mantap untuk mengirimkan naskah itu ke email panitia lomba.

Wis, saat itu saya cuma bisa berdo'a lalu pasrah. Tiba di hari pengumuman yang dijanjikan, ternyata panitia mengumumkan bahwa pengumuman pemenang diundur satu bulan karena jumlah naskah yang masuk lebih dari 1000. Wow, makin jiper saya. Apalagi saya tahu bahwa saingan-saingan saya beuraaattt... Rata-rata mereka adalah penulis yang sudah sering nangkring di majalah anak. 

Saya terus berdo'a. Masih ada satu bulan kan untuk melangitkan harapan? Dan Alhamdulillah, di hari yang dijanjikan, pemenang pun diumumkan. Saya termasuk di dalamnya, meskipun hanya juara harapan. Hehe...akhirnya, keyakinan saya terbukti. Tulisan saya ada pesan moralnya, dan layak untuk ditampilkan. Ini kembali meningkatkan rasa percaya diri.

Selanjutnya, saya masih menunggu jawaban dari naskah-naskah yang telah saya tulis dan saya kirimkan. Saya tahu di luar sana persaingan teramat ketat. Banyak penulis yang bermunculan dengan ide dan karya-karya yang luar biasa. Tapi kalau saya tidak bertekad untuk menang dari mereka, ya saya akan begini-begini saja. Iya kan? :D


Read More

Kisah Dibalik Mukena Putih

Thursday, October 2, 2014


Tiap kali melihat mukena terusan berwarna putih, hati saya tergetar. Ingatan saya berlari ke masa dua puluh tahun silam. 

Saat itu, usia saya baru enam tahun. Mbah (nenek dari pihak bapak), mengajak saya ikut ke pengajian yang terletak di desa seberang. Benar-benar seberang, karena untuk mencapai desa itu saat itu kami harus menyeberangi sebuah sungai.

Sebelumnya, Mbah meminta ijin pada ibu untuk "meminjam" saya sebagai teman perjalanan. Ibu mengijinkan, tentu saja. "Kasihan Mbah kalau tidak ada teman," begitu yang selalu diucapkannya. 

Setelah bersiap-siap, kami pun berangkat. Mbah tak lupa membawa jarik (kain/selendang) berwarna merah, untuk menggendong saya sewaktu-waktu saya lelah berjalan. Detail warna dan motif jarik itu masih saya ingat dengan jelas.

Benda lain yang juga dibawa adalah sebuah payung berukuran besar, karena hari terlihat sedikit mendung. Selain itu, ada sedikit makanan kecil yang disimpan di tas pengajiannya.

Kami berjalan pelan-pelan pagi itu, melintasi jalan-jalan sempit di antara pesawahan. Sesekali Mbah bertanya, "Kesel po ra? (Capek tidak?)", dan Mbah pun mengajak saya berhenti sejenak untuk beristirahat sambil menyantap bekal.

Kami hampir mencapai sungai ketika hujan mulai turun rintik-rintik. Gemuruh aliran air makin jelas terdengar. Mbah membuka payung dan mengeluarkan jarik merah dari tasnya untuk digunakannya menggendong saya.

Tiba di tepi sungai, Subhanallah...banjir. Air berwarna keruh seperti kopi susu mengalir di depan kami. Saya yang saat itu hanya setinggi perut Mbah, mendongak ke atas, menatap wajah Mbah. "Akankah perempuan kecil yang sudah sepuh ini mundur, lalu mengajakku pulang?"

Ternyata tidak. Dikencangkannya jarik yang mengikat saya dengan tubuhnya itu. Dipegangnya payung besar dengan tangan kanan. Dilepasnya sandal, lalu dipegangnya dengan tangan kiri, sembari tangan kiri itu memastikan saya aman di gendongannya. Bismillah, kakinya siap melangkah menembus air keruh yang tingginya mencapai dadanya.

Saya menahan tangis, ngeri dan takut kalau-kalau kami hanyut. Apalagi jika ingat cerita ibu bahwa di sini, di kali yang kami seberangi ini, ada ikan sebesar mesin jahit yang siap menyantap anak kecil yang bermain di sana. Tentu cerita ibu itu hanya untuk menakut-nakuti saya agar tidak bermain di sungai tanpa sepengetahuan orang tua. 

Tiba-tiba, Mbah terpeleset, hampir jatuh. Sebuah sandal di tangan kirinya lepas, hanyut terbawa air. Mbah mencoba menjangkau sandal itu dengan tangan kirinya yang masih memegang satu sandal yang lain. Namun menyadari bahwa ini tidak akan berhasil, beliau merelakan sandal kesayangannya itu.

Kami basah kuyup, tidak saja karena terkena air hujan dari atas, tapi juga karena air sungai yang setinggi dada Mbah. Rasanya, payung itu jadi tidak berguna sama sekali.

Tak lama kemudian, akhirnya kami bisa mencapai tepi desa seberang. Bersyukur sekali saya saat itu. Tapiii, tas pengajian Mbah yang berusi Al-Qur'an dan mukena, basah. Begitu juga baju kami berdua. Akhirnya, Mbah memutuskan untuk menjemur mukenanya di dahan pohon yang terletak di tepi sungai. Jaman dulu, mukena dijemur di tepi sungai tanpa ditunggu pun tidak hilang, hehe..


Sungai
Sungai ini yang kami seberangi kala itu
 
 
Mukena terusan berwarna putih polos itu, menjadi saksi perjuangan kami menaklukkan derasnya sungai. Saksi perjuangan Mbah yang berniat menuntut ilmu.

Setelah selesai menjemur mukena, kami melanjutkan perjalanan melewati ladang dan sawah, menuju rumah kakak perempuan Mbah. Disana, Mbah mengganti pakaiannya, meminjam baju kakaknya. Masjid tempat pengajian ada tepat di sebelah utara rumah kakak perempuannya itu. Saya, dipinjami pakaian ganti oleh sepupu saya yang juga tinggal di samping rumah kakak perempuan Mbah. 

Rasanya, perjalanan kami hari itu, antara mengerikan sekaligus mengharukan. Betapa perjuangan Mbah untuk mencari ilmu sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat sangat patut diteladani.

Dan hari ini, di 16 tahun kepergiannya, saya bersaksi bahwa Mbah adalah teladan yang sholihah. Beliau membagi ilmu dengan ikhlas, mengajar mengaji seluruh anak-anak kecil di kampung saya tanpa pernah meminta imbalan. Beliau juga selalu bersemangat menimba ilmu, hingga ke tempat yang jauh, meskipun untuk mencapai tempat itu beliau hanya mengandalkan kedua kakinya. Masya Allah :)





Read More

Super Gizi Qurban; Memuliakan Anak Yatim dengan Daging Qurban

Wednesday, October 1, 2014

Tiba-tiba hari ini saya teringat sebuah catatan yang ditulis oleh Pakde beberapa waktu setelah Uti (nenek) meninggal. Disitu beliau bercerita, dulu, sebagai anak yatim, mereka sering mengeluh. "Ibu, kenapa setiap hari kita makan daun-daunan terus. Seperti ulat saja," begitu kurang lebih suara rengekan anak-anak Uti setiap hari. Lalu Uti menjawab, "Le, memang sekarang kita seperti ulat yang setiap hari makan daun. Tapi kalian harus ingat, ulat itu kelak akan berubah menjadi kupu-kupu, sebagai buah dari kesabarannya."

Dulu, di tahun 1980-an, makan daging sapi adalah hal yang amat mewah. Bisa makan daging ayam saja sudah Alhamdulillah. Itu pun harus mengorbankan peliharaan. Keluarga Uti pun begitu. Bahkan, daripada ayamnya disembelih untuk dimakan, lebih baik ia dijual sehingga uangnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain. Anak-anak Uti saat itu masih kecil-kecil, kebutuhan pangan dan pendidikan pun tidak bisa dihindari. Sandang, sudah masuk kebutuhan sekunder bagi mereka.

Namun seperti janji Allah yang telah mengistimewakan anak yatim, do'a-do'a Uti dan anak-anaknya diijabah. Kini, Pakde, Om, juga Bulik, sudah menjadi "orang", mereka telah sukses dalam karirnya. Dari sini saya kemudian diingatkan, jangan main-main dengan anak yatim. Sayangi mereka. Penuhi hak-haknya. Keistimewaan anak yatim terlihat dalam beberapa firman Allah. Salah satunya dalam QS. Al-Ma'un : 1-3 yang berbunyi, "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin." 

Dalam ayat yang lain, "Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap pengemis janganlah menghardik." (QS. Ad-Dhuha: 9-10)

Rasulullah SAW pun bersabda: "Aku dan pengasuh anak yatim berada di Surga seperti ini, (beliau memberi isyarat dengan mendekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya)". Dalam hadits yang lain: "Apakah kamu suka jika hatimu menjadi lembut serta terpenuhi segala keinginanmu? Sayangilah anak yatim, usaplah kepala mereka, serta beri makanlah mereka dari makananmu, niscaya hatimu akan lembut dan terpenuhi segala keinginanmu." (H.R. al-Thabraniy dari Abu Darda)

Uti ditinggalkan Mbah Kakung (kakek) di usianya yang masih muda. Setelah Mbah Kakung pergi, Uti harus berjuang menghidupi delapan anak yatim seorang diri. Empat laki-laki dan empat perempuan (salah satunya adalah ibu saya). Uti, dalam kesulitannya menjalani peran sebagai seorang janda, telah mengantarkan ulat-ulat kecil itu menjadi kupu-kupu yang terbang tinggi dengan sayapnya sendiri. 

Saat itu, perhatian terhadap anak yatim masih minim. Beruntung sekali di zaman sekarang ini, kesadaran untuk saling membantu sudah semakin tumbuh. Banyak yayasan yang didirikan untuk memfasilitasi orang-orang yang ingin menyalurkan zakat, infaq, dan shodaqohnya.

Seperti yayasan Yatim Mandiri, lembaga non profit yang fokus membantu anak-anak yatim. Hanya anak-anak yatim ya. Mengapa anak piatu tidak masuk kriteria? Atau kaum dhuafa misalnya? Karena, anak piatu tentu masih mempunyai ayah yang bertanggung jawab untuk mencari nafkah. Sementara untuk dhuafa, terkadang kriteria dhuafa bisa berbeda-beda, sehingga dikhawatirkan bantuan yang diberikan akan salah sasaran. Menyadari bahwa santunan dana adalah amanah yang berat, maka Yatim Mandiri berusaha untuk menjaga amanah itu sebaik-baiknya.

Nah, beberapa hari lagi kita akan merayakan Idul Adha atau Idul Qurban. Yatim Mandiri juga mempunyai program yang bernama SGQ (Super Gii Qurban). SGQ adalah program untuk menyempurnakan kemanfaatan daging qurban dalam bentuk sosis. Langkah ini diambil untuk menjamin pendistribusian daging qurban sampai daerah-daerah pelosok, yang lebih membutuhkan daya tahan yang lama.

pendistribusian SGC

Dalam tinjauan syar'i, hal ini bukanlah masalah. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW, dari Aisyah ra, beliau berkata: "Dahulu kami biasa mengasinkan (mengawetkan) daging udhiyyah (daging qurban) sehingga kami bawa ke Madinah. Tiba-tiba Nabi bersabda, 'Janganlah kalian menghabiskan daging qurban hanya dalam waktu tiga hari'". (HR. Bukhori-Muslim)

Keuntungan Super Gizi Qurban:
1. Sesuai syari'ah
2. Praktis dan higienis
3. Sarana peningkatan gizi anak yatim dhuafa
4. Distribusi hingga pelosok negeri
5. Tahan lama hingga 2 tahun meskipun tanpa pengawet
6. Sarana optimalisasi CSR untuk perusahaan

Pendistribusian SGC

Untuk Anda yang ingin berqurban melalui Yatim Mandiri, berikut harga paket qurban yang disediakan:
1 ekor sapi: Rp 12.600.000,-
1/7 ekor sapi: Rp 1.800.000,-

Mari berlomba-lomba menjalankan kebajikan. :)


Read More

Tips Membawa Anak ke Bioskop



Setelah menikah dan mempunyai anak, saya jarang sekali memiliki waktu berdua dengan suami. Tidak pernah malah. Ini karena saya dan suami sama-sama jauh dari saudara, sehingga tidak ada yang bisa dititipi. Jadi, kami hanya benar-benar bertiga di kota ini, dengan Amay tentunya.

Nah, suatu hari, tepatnya di libur Natal hingga Tahun Baru yang lalu, tiba-tiba saya ingin sekali menonton bioskop. Apalagi ada film baru yang sedang gencar dipromosikan saat itu, 99 Cahaya di Langit Eropa. Suami pun sama, ia ingin sekali menonton film Soekarno. Kebetulan dua film itu sama-sama mulai tayang.

Tapi ya, masa kita mau nonton pisah-pisah? Lalu Amay bagaimana? Mau ditaruh dimana coba? Akhirnya kami memutuskan untuk menonton film Walking With Dinosaurs. Haha, kami berdua sama-sama tidak bisa menonton film yang kami inginkan. Adil kan? Semua ini demi Amay.

sumber

Iya, Amay memang tertarik sekali dengan hal-hal yang berbau makhluk purbakala itu. Pernah, ketika kami hendak membelikannya baju, ia melihat satu kaos bergambar dinosaurus. Ia pun langsung mengambil kaos itu. Hehe, bahkan saking khawatir tidak akan dibelikan, dia menolak ketika kami meminta kaos itu untuk dibayarkan di kasir.

Nah, kembali ke soal menonton bioskop. Sebelumnya, Amay yang saat itu baru berusia dua tahun sembilan bulan, belum pernah sekali pun masuk ke gedung bioskop. Kalau menonton film di rumah sih sudah sering. Dia bisa fokus hingga film itu benar-benar selesai jika film yang ditontonnya menarik.

Karena ini adalah pengalaman pertama bagi Amay, maka sehari sebelumnya kami sudah memberi tahukan apa saja yang akan dia lihat nanti. Hari sebelumnya memang kami hanya memastikan jadwal film diputar, jadi kami tidak langsung membeli tiket untuk menonton saat itu juga. Waktu yang sehari itu kami pergunakan untuk memperkenalkan pada Amay apa sih bioskop itu.

Lalu apa saja sih yang penting untuk dilakukan ketika mengajak anak menonton bioskop? Yang terpenting dari semuanya sih, pastikan film itu cocok untuk usianya yaa... Dan berikut ini adalah hal-hal yang kami lakukan saat akan mengajak Amay ke bioskop:

1.    Bertanya padanya, apakah si anak mau untuk diajak menonton film? Jika iya, perkenalkan pada anak film apa yang akan ditonton. Biasanya ketika sebuah film diluncurkan, maka ada penjelasan singkat mengenai film tersebut. Cari tahu bersama-sama dengan si buah hati.
2.    Jelaskan pada anak kondisi di dalam bioskop, misalnya, “Kali ini Amay tidak menonton film melalui komputer seperti biasanya, tetapi melalui sebuah layar yang sangat besar dan bersuara keras.” Kami juga menjelaskan bahwa di bioskop nanti, lampu akan dimatikan. “Tapi Amay jangan khawatir, karena Mama dan Papa ada di samping Amay,” begitu pesan saya.
3.    Karena ini film 3D, sehingga film akan lebih jelas terlihat jika kita menggunakan kaca mata, maka Amay boleh memakai kaca mata. Ia pun boleh melepasnya jika merasa takut.
4.   “Karena di bioskop kita tidak menonton film sendirian, maka Amay tidak boleh berisik. Bicara pelan-pelan saja, karena jika terlalu keras bisa mengganggu orang lain yang sedang menonton juga.” Ucap saya berulang kali.
5.      Pesan terakhir saya, “Kalau Amay merasa takut, Amay bicara sama Mama dan Papa. Nanti kita keluar sama-sama, karena di bioskop tidak ada yang boleh menangis.”
6.      Belilah makanan ringan. Minta anak memilih makanan yang ia suka.
7.      Pastikan anak memakai baju yang hangat, mengingat udara di dalam bioskop yang dingin.
8.      Ajak anak untuk buang air sebelum film dimulai.


Dan ketika saatnya tiba, Alhamdulillah, semua yang kami khawatirkan di awal, apakah Amay akan menangis, ketakutan, dan yang lainnya, tidak terjadi. Ia begitu tertarik menyaksikan film itu dari awal hingga akhir. Sesekali ia berkata, “Amay kaget,” ketika tiba-tiba terdengar suara yang keras. Namun setelahnya ia tertawa, seperti menertawakan dirinya sendiri. 

Hmm..kapan ya kita nonton lagi? :D
Read More

Sharing Pengalaman, Menghasilkan Uang?

Monday, September 8, 2014

Membaca judul di atas, mungkin sebgaian orang akan bereaksi dengan mengerutkan dahi. Tapi inilah yang saya alami.

Berawal dari informasi yang saya dapat dari seorang teman, saya pun tertantang untuk mencoba. Suatu hari, seorang teman mengungkapkan syukurnya karena pengalamannya yang ia kirim ke sebuah media beberapa waktu sebelumnya berhasil dimuat. Ia pun membagi ilmu pada saya yang ingin tahu.

Media itu bernama SOLOPOS. Bagi teman-teman yang tinggal di seputaran Solo pasti tahu. Kantornya terletak di Jalan Adisucipto. Lalu, pengalaman seperti apa yang berhasil membuat saya bangga?

Adalah rubrik "Ah Tenane" dengan tokoh utama bernama Jon Koplo dan Lady Cempluk. Terkadang ada juga nama lain yang muncul, yaitu Genduk Nicole dan Tom Gembus. Nama-nama yang dipakai memang njawani sekaligus modern. Nama inilah yang biasa dipakai sebagai nama samaran bagi pengirim cerita.

Pengalaman yang dimuat disana biasanya berisi pengalaman lucu, konyol, atau sedikit memalukan hingga memilukan. Pokoknya, yang bisa membuat orang bertanya, "Ah, tenane?" Entah berapa kali saya mengirimkan cerita pengalaman saya kesana. Yang jelas, telah tiga kali cerita saya dimuat disana, sejak April hingga Agustus. Dari cerita pertama, saya mendapatkan sebuah wesel bernilai Rp 65 ribu (memang jika honor dikirim via wesel, nilainya akan dikurangi Rp 10 ribu). Kemudian dari dua cerita terakhir, saya mendapatkan transferan ke rekening sebesar Rp 150 ribu. Karena seringnya cerita saya dimuat di rubrik Jon Koplo ini, suami saya sampai menjuluki saya "Penulis Jon Koplo", hehehe...

Bagi sebagian orang, Rp 65 ribu atau Rp 75 ribu mungkin tak besar. Tapi percayalah, ini yang saya lakukan sebagai latihan untuk menulis. Menulis kemudian dimuat oleh sebuah media, bagi saya bisa meningkatkan rasa percaya diri. Toh, sekecil apapun nilai uangnya, tidak ada yang tidak berguna, bukan? 

Nah, inilah contoh cerita saya yang dimuat di rubrik "Ah Tenane". Saya kirim di bulan puasa lalu. Mungkin karena momennya pas, dimuat di bulan itu juga. Masa tunggu tidak bisa diperkirakan. Bisa sehari, seminggu, bahkan sebulan atau dua bulan. :)

Ojo Kesusu

Suatu hari di bulan Ramadhan, Lady Cempluk berkutat di dapur untuk menyiapkan buka puasa. Ia kemudian mendatangi suaminya, Jon Koplo, sambil menyerahkan sekaleng susu kental manis berwarna putih. "Pak, tulung dibukakke. Arep tak gawe nyiram es buah." ujarnya.
Jon Koplo pun beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil sebuah alat yang biasa digunakan untuk melubangi kaleng susu. Setelahnya, ia kembali duduk di tempatnya semula dan mulai beraksi.
Mungkin karena tekanan dari alatnya atau mungkin juga karena isinya terlalu penuh, maka ada susu yang ndlewer keluar. Dengan sigap tangan Jon Koplo mengusap tumpahan susu tadi, kemudian menjilatnya.
"Lho Pak, emange wis adzan opo?" tanya Cempluk.
"Oalah, lali, haha... Rejeki iki." Ujar Jon Koplo, menyadari bahwa waktu berbuka sebenarnya belum tiba.
"Walah. Sabar, Pak. Ojo kesusu!" Cempluk pun ikut menertawai suaminya.

Selamat mencoba yaa..
Oya, untuk ceritanya bisa ditulis sepanjang 100-150 kata. Berisi pengalaman nyata pribadi atau orang lain. Dikirim ke alamat email redaksi@solopos.com atau redaksi@solopos.co.id. Jangan lupa sertakan alamat lengkap dan juga nomor rekening. 





Read More

Mukena Cantik, Murah, dan Berkualitas? Ya, Zakizakia...

Kali ini mau cerita tentang Mukena Zakizakia, sebuah brand mukena kepunyaan sepupu suami saya. Kenapa sih koq pengen banget ngomongin tentang mukena?

Mukena Cantik Zakizakia

Jadi gini ceritanya…

Suatu hari di bulan Syawal, saya yang sedang berlebaran di kampung halaman suami, bersilaturrahmi ke beberapa saudara. Karena sudah masuk waktu ashar, saya minta ijin untuk numpang shalat. Tadinya sih mau cari musholla, supaya tidak merepotkan tuan rumah. Tapi, tuan rumah malah menawari untuk shalat disana. Saya pun dipinjami sebuah mukena. 

Begitu saya pakai, saya merasa nyaman dan langsung jatuh cinta. Pertama karena bahannya yang adem, kedua dan selanjutnya adalah karena tidak menerawang, pas di muka (nggak kedodoran), juga motifnya yang cantik. Belakangan saya mendapatkan kelebihannya yang lain, yaitu harganya yang miring. Harga mukenanya miring banget. Apalagi setelah saya bandingkan dengan harga-harga mukena dengan bahan yang sama, yang dijual di online shop – online shop yang berseliweran di Instagram. Asli, selisih harganya bisa mencapai 30 ribu, bahkan sampai 100 ribu.

contoh motif mukena
Ketika pulang, ternyata Mama mertua mengajak kami mampir ke sebuah ruko. Disitulah mukena itu diproduksi. Oh, saya baru tahu kalau sepupu suami saya itu punya usaha konveksi. Tidak hanya mukena sebenarnya, ada jilbab dan pakaian-pakaian muslimah juga. Saya pun langsung memburu mukena yang saya pakai tadi. Namun sayang, mukena yang saya cari sudah habis sebelum lebaran, dan saat itu mereka masih libur lebaran sehingga belum mulai produksi lagi.

Saya pun tergelitik untuk mewawancarai Teh Kiki, nama sepupu suami saya tadi. Tapi yah, wawancaranya masih taraf abal-abal, hehe..

Dari tanya jawab itu, saya akhirnya tahu kalau ternyata bisnis di bidang ini bukanlah hal yang asing bagi Teh Kiki, karena orang tua dan kakaknya juga menggeluti bidang ini. Teh Kiki memulainya setelah lulus kuliah, dengan modal awal dan pemasaran yang masih ikut dengan bisnis konveksi sang kakak, Rosy Collection.
motif mukena yang sedang dipersiapkan
Teh Kiki sendiri sebenarnya sempat bekerja di sebuah bank, namun ia memutuskan untuk resign, kemudian memulai bisnisnya lagi. “Untuk mukena ini, saya punya brand sendiri, Zakizakia,” begitu katanya. Nama ini diambil dari nama panjangnya, Kiki Zakiah.

Selain mukena, kerudung modern (pashmina) dan pakaian muslimah pun mulai ditekuni. Pesanan pakaian yang datang kebanyakan adalah pakaian-pakaian pesta, juga pakaian-pakaian bergaya hijabers. Sayangnya, ia agak kesulitan mencari penjahit untuk produk-produk pakaian seperti ini.

pakaian muslimah produksi zakizakia

Teh Kiki memilih memperbanyak produksi jilbab selain mukena, karena menurut pengalamannya, perputaran uangnya lebih cepat. Biasanya yang banyak dicari adalah jilbab instan. Konsumennya sendiri banyak dari luar Jawa, Bandung, juga Jakarta. Sampai saat ini, Teh Kiki memiliki enam orang karyawan/tukang jahit. “Kalau di Teh Ros mah udah banyak, ga tau berapa, hehehe…” sambungnya merendah, dengan logat Sundanya.

Sayangnya, ketika ditanya soal omset, Teh Kiki belum bisa menjawab dengan pasti. “Kalau masalah omset, belum rapi dibukukan. Masih belajar untuk manajemen keuangannya.”

Walau begitu, saya salut dengannya. Jarang sekali anak-anak muda yang memilih untuk membuka usaha sendiri. Kebanyakan lebih memilih untuk menjadi karyawan. Keputusan Teh Kiki untuk resign dari bank tempatnya bekerja juga patut diacungi jempol. Ia lebih memilih berkutat di pasar, memilih kain sambil berpanas-panasan, berhubungan dengan tukang becak dan pedagang-pedagang pasar. Ini berbanding terbalik dengan ketika ia bekerja di ruang ber-AC, bertemu dengan nasabah yang wangi, berangkat kantor dengan pakaian rapi.


Passion lah yang membuatnya berbalik arah. Tapi biasanya, orang yang sukses itu yang tahu tujuan, tahu kemana langkah kaki harus digerakkan. Semoga, pilihannya menggeluti bisnis ini tak hanya menjadi jalan rezeki untuknya sendiri, namun juga bagi orang lain. Aamiin…
Read More

Jatuh Cinta pada Rumah dengan Gaya Tahun '80-an

Sunday, August 31, 2014

Ketika masih mengajar dulu, saya pernah mengikuti tes psikologi yang diadakan oleh sekolah tempat saya mengajar, dan hasilnya adalah bahwa saya termasuk orang yang suka sekali menoleh ke belakang. Tapi beruntungnya, saya lebih suka mengingat-ingat kenangan indah daripada kejadian-kejadian buruk di masa lalu. Mungkin karena masa kecil saya yang memang amat sangat bahagia berada di tengah-tengah keluarga yang saling menyayangi, juga keadaan ekonomi yang berkecukupan meski tak bisa dibilang berlebihan, yang membuat saya senang memutar memori masa silam.

Kebiasaan menoleh ke belakang itu pun terbawa hingga dalam hal memilih rumah impian. Saya yang lahir di penghujung tahun ’80-an, mendambakan rumah bergaya ’80-an yang menjadi trend di masa itu. Rumah-rumah bergaya ’80-an bisa kita lihat dalam film-film Warkop DKI, Kadir dan Doyok, atau film-film karya Almarhum Benyamin S. Dengan kaca besar berbentuk persegi di muka rumah, dengan lantai terasonya, dengan ruangan-ruangannya yang besar, juga halamannya yang tak kalah luas, rumah bergaya tahun ’80-an benar-benar membuat saya jatuh cinta. Entah mengapa, saya beranggapan bahwa jika saya berada di dalam rumah itu, maka suasana yang akan saya rasakan adalah suasana bahagia seperti puluhan tahun silam dimana saya tumbuh di masanya.



Ciri khas rumah bergaya tahun ’80-an adalah sirkulasi udaranya yang baik dan mencerminkan arsitektur tropis. Dibanding dengan rumah modern, rumah dengan gaya seperti ini cukup aman dari cuaca dan tampias hujan.



Satu lagi kelebihannya, jika dilihat dari lantainya yang khas yaitu lantai teraso, adalah bahwa lantai ini terasa dingin karena tidak menyimpan panas seperti halnya keramik. Makin menarik bukan? Apalagi untuk kita yang tinggal di Indonesia dengan hawanya yang semakin hari semakin panas.



Rasanya damai sekali membayangkan ketika pagi dan sore hari saya bisa duduk santai dengan suami menikmati secangkir teh sambil membaca koran di teras depan. Dan sejauh mata memandang, hijau pepohonan, warna-warni bebungaan, juga ranum buah-buahan yang tertanam di halaman menjadi sebuah hiburan. Ah, indahnya.

Oya, biasanya rumah-rumah dengan gaya ini juga dipercantik dengan tanaman yang populer di tahun itu, misalnya puring, paku atau suplir, anggrek, kembang sepatu, dan lain-lain.



Saking besarnya keinginan saya memiliki rumah seperti itu, pernah suatu kali air mata saya menetes tanpa izin ketika saya memasuki halaman rumah seorang teman yang memiliki rumah bergaya sama. Huhu, nggak lebay ‘kan? Meskipun suami saya meledek habis-habisan, saya tetap pada pendirian, pokoknya saya jatuh cinta pada rumah ’80-an.



Namun memiliki rumah ideal seperti dalam khayalan tampaknya belum bisa terwujud dalam waktu dekat, mengingat kebutuhan lahan yang luas berbanding lurus dengan biaya yang harus dipersiapkan. Juga, lantai teraso yang semakin susah ditemukan. Kalaupun ada yang memproduksinya, harganya sangat mahal untuk ukuran kantong pribadi saya. Dari sebuah agen properti saya mendapatkan informasi bahwa kisaran harga pembuatan lantai teraso per meternya adalah antara Rp 200.000 – Rp 265.000. Lantai teraso juga memerlukan perawatan ekstra karena ia mudah berlumut, dan ini tentu juga membutuhkan biaya yang tak sedikit, karena jasa poles teraso saat ini berada di kisaran Rp 30.000 – Rp 45.000 untuk proses ulang. Oya, untung ada Mimpi Properti, jadi perkembangan harga tiap harinya bisa dipantau.

Sebenarnya, rumah-rumah bergaya seperti ini masih sering saya temui di Kota Solo, kota tempat saya tinggal kini. Bisa dibayangkan tidak, ekspresi saya ketika lewat di depan rumah-rumah itu? :D

Saya hanya bisa berharap agar para pemilik rumah itu tidak bosan dengan model rumah mereka yang sekarang. Kalaupun bosan, semoga mereka tidak terburu-buru merenovasi rumah itu dan menggantinya dengan bangunan modern misalnya. Yaa, siapa tahu nanti ada rezeki saya, sehingga rumah itu bisa berpindah kepemilikan menjadi milik saya sepenuhnya. Jadi saya tidak perlu repot membangun dari awal, hehe.. Mimpi boleh saja 'kan? Mumpung gratis dan tidak ada yang melarang. Dan kalau dana yang saya butuhkan sudah disediakan oleh Tuhan, Mimpi Properti akan saya jadikan rujukan untuk mewujudkan rumah yang saya idam-idamkan.





Read More