Cafe Tiga Tjeret; Cafe Bercitarasa Angkringan

Saturday, February 6, 2016

Hai Hai... Memasuki hari ke 6 di bulan Februari, sepertinya hujan sehari-hari sudah bukan di Januari lagi ya? Hehe, secara sudah seminggu ini hujan turun membasahi kota ini. Alhamdulillah... :)

Hujan-hujan memang enaknya makan, hihi... Nah, hari minggu lalu, di penghujung Januari kami pergi ke sebuah tempat makan yang cukup terkenal di Solo.

Solo itu terkenal dengan angkringannya. Jadi, pilihan paling gampang kalau ingin mengajak teman atau keluarga untuk makan, ya Angkringan. Beberapa tahun terakhir, Angkringan yang menjual "suasana" mulai menjamur di kota bengawan ini. Salah satunya adalah Cafe Tiga Tjeret.


dengan Miss Fety dan suaminya.
Maka dari itu, ketika sahabat saya dari Bogor datang, kami langsung terpikir untuk mengajak kesana. Selain menyediakan tempat yang luas dan nyaman, makanan yang ditawarkan pun enak-enak. 


alat tempur suaminya Ms Fety oke banget deh buat narsis :D

Berbeda dengan angkringan pada umumnya, Cafe Tiga Tjeret menyediakan tempat yang luas, nyaman dan terkonsep. Gaya "nyentrik" sudah terlihat dari interiornya. Begitu kita masuk halamannya, pasti kita akan terpesona dengan lampu-lampunya, kursi dan mejanya, hingga dindingnya yang sungguh "nyeni".


dengan keluarga saat ultah Aga yang pertama

Oiya, meja yang kami tempati itu sebenarnya adalah dua buah mesin jahit tua yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi meja yang panjang. Unik kan? Di lantai dua, bahkan kursinya merupakan recycle dari krat-krat minuman.

Meskipun di dua kesempatan di atas kami selalu mengambil posisi di bagian belakang, tapi sebenarnya di bagian depan tempat duduknya tidak seperti ini lho... Ini karena jumlah pasukan kami banyak, sehingga kami memilih meja yang panjang dengan kursi yang banyak juga. Di bagian depan cafe ini, tersedia juga tempat duduk yang asik dengan payung sebagai pelindung dari panas dan hujan.


Alhamdulillah, kumpul keluarga

Untuk anak-anak, tersedia juga ayunan cantik. Hehe...saya juga sering naik ayunan ini sih, tapi kalau sedang sepi saja. Kalau pas rame, malu euy... ^_^

Di belakang ayunan itu terdapat mushola kecil. Jadi tak perlu khawatir terlewat waktu shalat yaa.. Toiletnya pun lumayan bersih. Saya biasa ke toilet untuk berwudhu, karena tempat wudhu di dekat mushola ini terbuka.



Udahan dulu yaa ngomongin soal bangunan fisiknya. Sekarang waktunya kita bahas makanan disana. *cleguk
Angkringan itu identik dengan menu nasi kucing, ya 'kan? Di cafe tiga tjeret ini tersedia berbagai macam menu nasi kucing. Ada nasi kucing dengan lauk oseng tempe dan bandeng, yang memang lazim ada di setiap angkringan. Ada juga nasi rica bebek, ini favorit saya - dan sepertinya favorit pengunjung lainnya juga, karena sering banget kehabisan. 

nasi kucing

Varian lainnya adalah nasi granat (dari kikil) - siap-siap yaa, pedasnya mancaaaap. Kalau nggak kuat pedas, mending jangan coba deh, hehe.. Lalu ada nasi kucing sapi lada hitam (nasi kucing apa nasi sapi sih? :p), ini juga enak. Nasi-nasi itu dibedakan dari cara membungkusnya. 

Nah, kira-kira kamu mau coba yang mana? 

aneka gorengan

Selain nasi kucing, ada juga aneka gorengan dan lauk-pauk. Banyak banget deh pilihannya. Ini sih cuma sebagian aja yang sempat terdokumentasi, hehe... 

Minuman yang ditawarkan pun macam-macam. Kalau suami saya biasanya pesan teh kampul (teh yang diberi irisan jeruk nipis) atau wedang uwuh. Mau minuman tradisional seperti beras kencur juga ada; bisa pilih antara es (dingin) atau wedang (panas). Ngga usah khawatir, menu milkshake dan jus-jusan juga ada koq. Banyak pilihan deh pokoknya. :D


menu angkringan

Nah, soal harga, ini sih relatif yaa... Kalau dibandingkan dengan angkringan-angkringan yang biasa kita temui di pinggir jalan, jelas sedikit berbeda. Tapi jika dilihat dari suasana yang ditawarkan, kebersihan dan kenyamanan, serta banyaknya pilihan makanan yang disediakan, maka harganya masih masuk akal. :)

So, kalau kamu ke Solo, tertarik kesini jugakah? Harusnya sih, iya. :)
Read More

Momen Manis di Es Krim Tentrem Solo

Monday, February 1, 2016


Di penghujung Januari, kami kedatangan tamu istimewa. Teman sejak jaman perjuangan, Miss Fety namanya. Dia datang ke Solo bersama suaminya, yang biasa dipanggil Aa', setelah sebelumnya menghadiri acara di Jogja. Oiya, sebelum semuanya saya tulis, saya informasikan bahwa semua foto dalam postingan ini adalah milik Mas Wahyudi, suami Miss Fety.

Ketika beberapa hari sebelumnya Miss Fety mengabari akan pergi ke Jogja, saya sudah wanti-wanti, "Pokoknya harus mampir Solo!" Dan Alhamdulillah, kedatangannya adalah rezeki yang dinanti-nanti.

Awalnya, kami berencana pergi ke "Grebeg Sudiro". Tapi karena Grebeg Sudiro dimulai jam 2 siang, sementara Miss Fety baru sampai di rumah jam 3, akhirnya rencana itu kami urungkan. Ya masa' baru datang langsung diajak keluar, hehehe... 

es krim Jamaica, es krim tentrem

Akhirnya, jam 5 sore kami meluncur dengan taxi, ke angkringan modern, Cafe Tiga Tjeret. Cafe Tiga Tjeret memang jadi andalan kami untuk menjamu tamu. :)

Disana, kami shalat maghrib sekalian.

Setelah puas menikmati makanan di Cafe Tiga Tjeret, kami berjalan ke arah selatan, melewati Pasar Triwindu, pasar yang menyediakan barang-barang antik di Solo. Kami berjalan di trotoar. Solo itu memang nyaman, trotoarnya lebar, enak buat jalan.

Es Krim Upin Ipin, Es Krim Tentrem Solo

Saat berjalan ke arah selatan itu, mata kami tertuju pada bangunan di pojokan perempatan Ngarsopuro. Iya, ada bangunan bertuliskan Es Krim Tentrem. Awalnya kami masih bingung apakah akan mampir kesana atau tidak, karena terus terang perut kami sudah kenyang. Lalu suami saya bilang, "Udah, ntar penasaran, lho. Kita beli 1-1 aja buat berdua." Aha, ide bagus! 

Kami pun sepakat untuk masuk ke dalam.

Agak rame, tapi Alhamdulillah kami malah dapat tempat duduk "sisa" yang oke. Dengan sofa yang empuk, pas banget deh buat pasukan kami. Saya langsung menghempaskan tubuh disana. Maklum, menggendong Aga dan berjalan dari Cafe Tiga Tjeret sampai Es Krim Tentrem, lumayan bikin ngos-ngosan juga. :D

Sebenarnya ada tempat di lantai dua juga, tapi lantai dua belum akan dibuka jika di lantai satu masih ada space yang kosong.

Narsis dulu di Es Krim Tentrem. Yaaah...Aganya ga jelas deh. Ga mau diem sih.

Tak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Es krim Upin-Ipin, Es Krim Jamaica, dan satu lagi pesanan Miss Fety, entah apa namanya.

Kami saling mencicipi es krim yang satu dan yang lainnya.

Aga, nggak sabar mau mencicipi Es Krim, nih, kayaknya. :)

Es Krim Upin-Ipin, sengaja kami pilihkan untuk Amay dan Aga. Rasa vanilanya sangat kuat. Es Krimnya pun lembut. Di bagian bawah es krim ini, ada dua potong wafer coklat sebagai pelengkap. Plating-nya cakep, pakai wadah yang bentuknya mirip centong/sendok besar. Dan bentuknya, lucu 'kan? :)

Es Krim Jamaica, rasa coklat. Es krim ini diletakkan di dalam crepes yang dibetuk menyerupai mangkok. Di atasnya diberi hiasan buah cerry. Oiya, ada butiran-butiran kacang juga. Nikmat deh, pokoknya. 

Es Krim pesanan Miss Fety, ada tiga rasa di dalamnya. Yang hijau rasa melon, enak banget. Yang pink rasa strawberry, dan yang biru...mmm, we've no idea ini rasa apa, tapi seperti permen karet. Enak juga. Pelengkap es krim ini ada biskuit marie, cornflakes, dan kristal agar berbentuk potongan jeruk.


Narsis dulu sebelum pulang.

Setelah es krim habis dan keringat kering (haha...secara habis jalan, ngos-ngosan, keringetan), kami pun bersiap-siap pulang. Kami pun menelepon taxi langganan. Taxi Kosti yang bisa ditelepon di nomor (0271) 856300. 
Read More

Ini Nih, Pentingnya Wudhu dan Do'a Sebelum Masuk Rumah

Sunday, January 31, 2016

Beberapa waktu lalu, kami kedatangan tamu. Tamu itu menginap di rumah. Entah mengapa saat malam tiba, Aga - bungsu kami yang baru 14 bulan - rewel terus-terusan. Saya sampai capek dan mengantuk karena kurang tidur.

Rewelnya Aga ini terus berlangsung bahkan hingga tamu tersebut pulang. Parahnya lagi, Aga jadi malas merangkak, malas berdiri, malas merambat, dan hanya mau digendong saja. Dia pun menjadi sangat manja, sedikit-sedikit menangis. Makan pun jadi susah.

Awalnya kami berpikir, apa Aga sakit? Tapi suhu badannya normal. Hingga suatu malam, saat suami baru pulang dari luar kota, Aga menjadi makin rewel.

"Apa Aga begini terus dari kemarin (saat suami pergi, pen)?" tanya suami saya.

"Iya," jawab saya. "Makanya Arin capeeeek banget." tambah saya lagi,

"Kenapa ya?" suami pun bertanya-tanya. Beliau juga capek dan bingung, karena tidak biasanya Aga seperti ini. Aga sulit sekali dihibur.

Hingga akhirnya suami tersadar, "Aga itu nangisnya nggak keluar air mata lho. Tapi teriak-teriak gitu, kayak diapain aja." Saya pun setuju dengan pendapatnya. Kami lalu paham, ini bukan masalah biasa.

Suami mengingat-ingat lagi, "Oh iya... Aga begini setelah dia nginap ya? Iya bener, dia itu habis dari tempat yang agak gawat memang. Dari sungai juga kayaknya." terangnya.

Setelah menemukan penyebabnya, kami pun sepakat untuk berdo'a. Hehe...bukannya kami tidak pernah berdo'a ya. Tapi berdo'a kali ini dengan meniupkannya di segelas air. Saya membaca surat al-fatihah tujuh kali, kemudian saya meminumkan air itu pada Aga.

Beres?

Belum.

Aga masih rewel.

Akhirnya, kami menyerah. Kami mencari pertolongan dengan menghubungi sepupu di Jogja. Dan benar, katanya memang benar ini ada pengaruh dari tamu kemarin. Tamu kemarin melewati tempat yang "gawat" dan energi negatifnya terbawa. "Itulah kenapa kalau habis dari pergi-pergi kita dianjurkan untuk berwudhu dan berdo'a sebelum masuk ke rumah, seperti yang diajarkan agama kita." tulisnya melalui BBM.

"Terus sekarang cara menghilangkan energi negatifnya gimana?" tanya suami.

"Ambil segelas air, beri segenggam garam. Bacakan surat Yaa Sin, surat An-Nass, Al-Falaq, dan Al-Ikhlas, Kemarin memang sudah dido'akan, tapi belum diberi garam kan? Graam itu fungsinya untuk mengikat energi negatif itu." sepupu saya menjelaskan. "Setelah itu, tambahkan air garam itu ke air mandinya Aga." jelasnya lagi.

Kami mengikuti saran sepupu saya itu. Percaya atau tidak, setelah mandi, Aga mau turun dari gendongan. Ia mulai merangkak, mulai berdiri, mulai merambat lagi, meskipun untuk makan nafsunya belum pulih benar.

Ini yang biasa disebut "sawan" oleh orang Jawa. Energi negatif itu yang membuat Aga lelah, sehingga kondisi fisiknya lemah, dan membuatnya rewel.

Jadi, jangan lupa ya, sebelum masuk rumah berdo'a dulu. Dan jangan lupa juga, berwudhu, atau minimal cuci tangan dan kaki. :)

Sudah tau belum do'anya? Ini dia do'a masuk rumah... :)



Read More

Empal Gentong Enak di Cirebon

Thursday, January 14, 2016

Yang hobi jalan-jalan dan wisata kuliner di Cirebon, pasti udah pada tahu 'kan, Empal Gentong? 

Yap, kuliner khas Cirebon ini memang lezat. Rasanya hampir seperti gulai. Dinamakan "Empal Gentong" karena dimasaknya di sebuah tempat yang terbuat dari tanah liat, semacam gentong. Ini nih yang bikin rasanya jadi makin nikmat.

Ngomong-ngomong soal tempat makan yang menjual Empal Gentong di Cirebon, Empal Gentong Amarta sedang nge-hits, teman-teman. Mertua saya pasti pilih tempat ini untuk makan, meskipun di sepanjang jalan itu tersedia banyak sekali pilihan warung makan yang menawarkan Empal Gentong.

Empal Gentong Amarta: Pelopor Empal Asem di Cirebon

Oiya, lupa bilang, kini ada inovasi baru selain Empal Gentong, yaitu Empal Asem. Bedanya, Empal Asem tidak bersantan, dan sesuai namanya, rasanya memang agak asam.

Empal Gentong Amarta sendiri meng-klaim bahwa dialah pelopor empal asem di Cirebon. Tuh, fotonya di atas. :D

Empal Asem yang kuahnya agak bening, dengan irisan tomat. Empal gentong, kuahnya kuning bersantan.


Dan memang, menurut lidah kami (saya dan mama mertua), Empal Asem Amarta paling pas di lidah.

Empal Gentong, Empal Asem, dan Sate Kambing Amarta

Hampir di semua tempat makan yang menjual Empal Gentong, disediakan pula sate kambing. Di depan Empal Gentong Amarta ini malah ada yang menjual es durian. Ya ampun, nggak bersahabat banget deh sama teman-teman yang punya hipertensi. 


So, wajib hati-hati yaa... Ingat kesehatan. :)

tangga menuju lantai 2, Empal Gentong Amarta

Satu kekurangan Empal Gentong Amarta menurut saya, tempatnya sempit. Tempat parkirnya juga, karena memang ngga disediakan lahan parkir khusus disana. :(


Iya sih, untuk makan ada lantai duanya juga. Tapi karena ruangannya yang sempit ini, kesannya jadi sumpek. Ngga enak juga sama pelanggan yang nungguin kita selesai makan, hehe... Iya, Empal Gentong Amarta ini memang sering terlihat penuh, apalagi di jam makan siang. Hmmm...


lantai bawah Empal Gentong Amarta

Tapi salut, pelayannya sigap-sigap. Jadi, kita ngga kelamaan nungguin makanan. :)

Oiya, kalau makan di lantai bawah, siap-siap sama asap bakaran sate yaa.. :)

tampak depan Empal Gentong Amarta

Kalau teman-teman kebetulan sedang berada di Cirebon dan mencari Empal Gentong Amarta, ini dia alamatnya: Jln. Ir. H. Juanda No. 37, Plered. 


Nah, pas mudik akhir tahun kemarin, rencananya kami mau ke Empal Gentong Amarta juga. Tapiii..dari jauh sudah kelihatan penuh tempat parkirnya. Sudah bisa dipastikan kursinya juga sudah penuh. Karena perut sudah krucuk-krucuk, kami urungkan rencana awal. 

Akhirnya, kami menuju warung Empal Gentong lainnya, yang lebih longgar. Masih di deretan Empal Gentong Amarta juga, namanya Rumah Makan Bu Ulfah. Alamatnya di Jln. Ir. H. Juanda No. 104, Plered.


RM. Bu Ulfah, Cirebon
Kami pilih disini karena rumah makan ini yang paling longgar. Lahan parkirnya tersedia, dan cukup luas dibandingkan dengan warung Empal Gentong yang lain. 



meja kursi tertata rapi
Ruang makannya juga luas dan terlihat bersih.

Empal Gentong Bu Ulfah

Tapi, sama dengan Empal Gentong Amarta, mesti siap-siap dengan asap bakaran sate kambing, hehe... Ini memang sulit sekali dihindari. :)


Empal Gentong Bu Ulfah
Empal Gentong disini sama lezatnya dengan Empal Gentong Amarta. Harga per porsinya Rp 22.000,-
Untuk sate kambing, kebetulan kami belum mencicipinya. 
Tapi, Empal Asem disini terlalu asam menurut saya. Memang Amarta belum tertandingi untuk rasa Empal Asemnya. Pantaslah jika Amarta menyebut dirinya pelopor Empal Asem, hehe...

Empal Asem Bu Ulfah
Jadi, untuk Empal Gentong, RM Bu Ulfah juga recommended loh. Ruang makannya longgar dan bersih. Dan yang juga tak kalah pentingnya, disini disediakan lahan parkir yang cukup luas untuk pengunjungnya. 

Akhir kata, selamat berwisata kuliner yaa.. :)
Read More

Tiga Alasan Mengapa Saya Tidak Memajang Foto di Undangan Pernikahan

Saturday, January 9, 2016


Disclaimer: Postingan ini hanya berdasarkan pendapat pribadi saja, karena menyesuaikan dengan pengalaman, pengamatan dan "kantong" saya sendiri. Yang tidak setuju, pliisss, saya jangan dibully yaa.. :D


Momen pernikahan adalah momen sakral yang tidak akan dilupakan. Karenanya, banyak pasangan yang mempersiapkan peristiwa yang (insya Allah) sekali seumur hidup ini dengan sebaik-baiknya. Saya pun begitu, inginnya, hehehe... Tapi karena banyak sekali kendala, sehingga momen pernikahan saya terselenggara secara sangat sederhana.


~~

Cerita dulu...
Saya memang pernah menjalin hubungan dengan pak suami semasa remaja dulu, ehem... Namun hubungan itu hanya berlangsung selama tujuh bulan saja. Selanjutnya, karena beberapa alasan, kami berpisah. Huhuhu, jangan ditanya seberapa sedihnya, karena seddiiihhh banget. Tapi ya, itu sudah keputusan saya.

Pasca berpisah, sesuai dengan komitmen saya sendiri, saya tidak berpacaran dengan laki-laki manapun. Yang deketin sih, ada beberapa, hehe...tapi saya selalu menahan diri, menahan perasaan, dan berjanji akan berpacaran setelah menikah saja. Ups, sok suci! :D


*Saya sangat sadar, saya masih sangat jauh dari sempurna. Saya pun perempuan normal, yang kadang merasa senang jika ada yang perhatian. :p


Nah, sudah lah yaa, ngomongin tentang perasaan. Singkat cerita, tiga tahun kemudian, saya kembali bertemu dengan mantan pacar. Sayangnya, saya bertemu dengannya saat sedang berduka. Iya, dia datang waktu ibu saya meninggal. ;(


Kalau ingat itu, saya sering tergugu. Mantan pacar saya ini adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil mencuri perhatian ibu saya. Saya ingat sekali waktu ibu saya bertanya, "Mas Yopie piye?", saat saya menyodorkan beberapa nama. Dalam hati saya, "Mas Yopie sekarang ada dimana aja aku nggak tau, gimana mau tau sekarang dia kepiye?" Tapi ya begitulah, kadang untuk bahagia, kita harus melewati beberapa cerita duka. Dan iya, pada akhirnya ibu saya juga yang mempertemukan kembali saya dengan si dia, meskipun pertemuan itu terjadi dalam suasana yang tidak saya inginkan.


Pasca pertemuan hari itu, kami tidak ada komunikasi, sampai suatu hari dia menemukan saya di friendster, kemudian facebook. Lalu saya pun mengirimkan SMS padanya, ke nomor handphone 11 digit yang saya hapal di luar kepala, meskipun saya berusaha melupakannya dengan menghapus nomor itu dari handphone saya.


Beberapa bulan kemudian, saya yang saat itu merantau ke Bogor, berniat pulang untuk menghadiri acara lamaran kakak kedua saya. Saat saya "pulang kampung" itulah, dia kembali berkunjung ke rumah, dan tanpa disangka, dengan sangat gentle, dia "meminta" saya pada bapak. Wow.


Bapak menyerahkan keputusan di tangan saya. Saya pun bingung, hiyahahaha...tapi langsung mengangguk. Jarang-jarang ada laki-laki yang berani meminta langsung pada orang tua, ya 'kan? Bagi saya, ini nilai plus. Setidaknya, saya tak perlu meragukan lagi sifat tanggung jawab yang ada pada dirinya.


Dua bulan kemudian, diputuskan acara lamaran keluarga, tepatnya di bulan Syawal. Dipilih waktu pas hari lebaran supaya keluarga besar bisa berkumpul. Dan di hari itu, pasukan dari Majalengka datang ke Purworejo. Rasanya, bahagiaaa...


Saat lamaran itu, kami (saya, tepatnya) memutuskan untuk menyegerakan pernikahan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Maklum, saya ini makhluq yang lemah iman. 


Dan persiapan pernikahan dilakukan hanya dalam waktu dua bulan.


Terus terang, dalam dua bulan itu saya nggak ngerti mesti ngapain. Saya manut. Apalagi saat itu saya ada di Bogor, pernikahan dilangsungkan di Purworejo, Si Dia ada di Jogja, mertua di Bumiayu tapi suami harus ngurus surat-surat di Majalengka (temnpat tinggal asal).


Urusan Dekorasi, bapak yang mencarikan. Tata rias, saya pasrahkan pada Mbak Ika (Ika Puspitasari si blogger kece itu loh), biar dia yang mencarikan. Saya cuma pesan, bajunya nanti jangan yang ketat, kalau bisa jilbabnya yang menutup dada. Tapi ya gitu sih, ngga ada yang punya baju kayak gitu waktu itu.


Yang lucu, baju untuk akad nikah, dibuat tanpa diukur. "Gini aja, ambil gamis ibu yang warna kuning, panjang lengan sama kaki ditambahi aja 5 senti - 5 senti," pesan saya pada Mbak Ika via telepon, dari Bogor. Duh, simbakku ini jadi seksi riweuh deh...


Nah, untuk undangan, kebetulan tetangga Bulik di Bogor ada yang punya usaha cetak undangan. Jadi Bulik memesan undangan pada beliau ini, dan alhamdulillah dapat diskonan hampir 50%.


Untuk undangan ini, saya nggak mau neko-neko. Sempat terbersit ide untuk menampilkan foto, tapi alhamdulillah urung dilakukan. Note; Kami tidak melakukan foto pre-wedding yaa... Jadi yang rencananya mau ditampilkan itu foto kami yang kami buat sendiri-sendiri. Si Dia sempat ke-ide-an untuk bikin sketsa sebagai ganti foto, sih..tapi nggak jadi. Alasannya:


1. Undangan yang ada fotonya tuh, Mahal.

Dengan waktu yang mepet tanpa ada persiapan dana, maka saya harus berhemat. :p Tapi walaupun hemat juga, insya Allah undangan pernikahan kami bagus koq, hehe... 'Kan dapet harga diskon, jadi dengan biaya yang saya keluarkan, saya dapet undangan sebagus undangan dengan harga dua kali lipatnya. :)

2. Undangan yang ada fotonya tuh, Sayang.

Iya lah, sayang. Secantik dan setampan apapun aku dan pasanganku, dijamin ga akan ada yang nyimpen undangan yang ada foto kami di dalamnya. Pasti undangan itu akan jatuh ke tempat sampah juga. Hiks hiks, gak ngebayangin deh, foto aku saingan sama kecoa.

3. Malu. Hehe...saya termasuk orang yang malu ketika difoto. Tapi itu dulu. Sekarang? Saya ingin dan sedang berusaha mengembalikan rasa malu itu. :(


Jadi, begitulah, pernikahan yang dipersiapkan serba cepat dan dari jarak yang tak bisa dibilang dekat itu pun akhirnya terlaksana dengan hidmat. Meskipun sederhana, yang penting 'kan, "sah"nya. :D


Read More

Stop Minta Gratisan pada Teman

Sunday, December 13, 2015

~~~~
A, seorang penulis yang baru saja menelurkan buku baru. Di status yang ditulisnya di social media, ia mempromosikan buku barunya itu. "Yuk dibeli, sudah tersedia di toko buku, lho..." tulisnya.

Namun ada yang membuatnya agak gimanaaaa gitu, ketika ia membaca seorang temannya berkomentar, "Lemparin bukunya satu, dong." Teman lain berkomentar pula, "Buat teman dekat mah gratis yaa..." Ada pula yang menulis, "Dapat harga teman ngga, nih?" Mungkin komentar-komentar tersebut terlihat biasa saja, dan mungkin ada bumbu basa-basi dan sekedar bercanda. Akan tetapi, tidak begitu bagi A.


Dalam hati - hanya di dalam hatinya - ia berkata, "Mereka pikir membuat buku itu tidak susah? Tahukah mereka aku harus begadang, harus rela meninggalkan anak-anak di rumah demi mencari referensi buku di perpustakaan? Apa mereka tidak tahu, bahwa demi buku ini lahir dengan sukses, aku harus meminta maaf berkali-kali pada suamiku yang kurang mendapat perhatian?"



~~~~

Di tempat lain, sepasang suami istri yang baru menikah beberapa bulan lalu, memutuskan berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja, kemudian merintis bisnis yang sesuai dengan hobinya. Si suami yang hobi merakit komputer, bersinergi dengan si istri yang mantan sekretaris. Mereka menyewa tempat yang strategis untuk berbisnis; jual beli komputer, service komputer, dan jasa pengetikan.

Si suami mulai gencar mempromosikan bisnis barunya ini pada kawan-kawan lamanya. B, kawan lama sejak SMP datang. Tahu bahwa sahabatnya pandai memperbaiki komputer yang rusak, ia datang dengan laptopnya yang sudah lemot. Tak butuh waktu lama, karena si suami ini memang terampil, laptop kawannya pun "sembuh".


Si istri berharap bahwa kedatangan kawan lama suaminya ini merupakan rezeki di awal bisnis yang baru mereka rintis. Si suami pun berharap demikian. Maklum, toko mereka baru, sehingga masih sepi pelanggan. Namun sayang seribu sayang, B tak cukup peka. Ia merasa, sebagai kawan dekat, pantaslah jika ia mendapat service gratis. Sementara si suami tadi, tak enak hati mengeluarkan "tagihan" pada sahabat sendiri. Si istri mulai mengeluh, "Si B ini, nggak menghargai waktu yang udah kebuang. Dia juga ngga mikir, nyervis laptop kan butuh listrik."



~~~~

Dua kisah di atas hanya fiktif belaka, tapi banyak dan sering terjadi. Mentang-mentang teman, selalu minta diskonan, atau yang lebih parah, gratisan.

Lho, emangnya ngga boleh cari gratisan? Ini yang perlu digarisbawahi, mencari berbeda dengan meminta. Cari-cari yang gratis boleh saja (ikutan kuis yang lagi bagi-bagi produk, itu namanya cari gratisan), tapi minta, meskipun pada teman yang kamu anggap dekat sekalipun, sebaiknya jangan.






Ingat, kamu tak pernah tahu, perjuangan seperti apa yang telah dan sedang dilakukan oleh temanmu. Mereka sedang berusaha, dengan karya yang dibuatnya. Hargailah usahanya. Jika memang sedang tidak punya kemampuan membeli, tahan diri untuk tidak meminta.






Sebagai seorang Muslim, saya berpedoman pada hadits Rasulullah SAW. Ada banyak hadits yang melarang kita menjadi peminta-minta.

Hadits pertama:
Tidaklah salah seorang dari kalian yang terus meminta-minta, kecuali kelak di hari kiamat ia akan menemui Allah sementara di wajahnya tak ada sepotong daging pun. (HR. Muslim No. 1724)

Hadits 2:

Barangsiapa meminta-minta pada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api. 

Hadits 3:

Meminta-minta itu merupakan cakaran, yang mana seseorang mencakar wajahnya dengannya. Kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.

Agak serem ya bunyi haditsnya? Tapi memang begitulah adanya. Ingat kasus suami istri tadi, mereka akhirnya "terpaksa" mengikhlaskan waktu, tenaga, pikiran, dan listrik yang sudah terbuang demi memperbaiki laptop si B, karena mereka "malu" menyodorkan tarif.


Lalu kalau diberi, bagaimana? Ini perkara lain ya... Seseorang mau memberimu sesuatu, pasti ada maksud tertentu. Apakah kamu dianggapnya istimewa, atau ada momen yang sedang ingin dirayakan, atau rezekinya sedang berlimpah. Maka bahagiakanlah mereka yang berniat untuk berbagi.


"Ambillah! Dan bila kamu diberikan sesuatu harta sedangkan kamu tidak mengidam-idamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Dan jika tidak demikian maka janganlah kamu mengejarnya dengan hawa nafsumu." (HR. Al-Bukhari No. 1473 dan Muslim No. 1731)


Siapa tahu, ia meyakini hadits yang menyebutkan bahwa jika kita saling memberi hadiah, maka kita akan saling mencintai. Dan bukankah tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah? Ya 'kan? Namun ingat, tahan diri, jaga harga diri.




Read More

Padang Bulan, Sebuah Novel Karya Andrea Hirata

Friday, December 11, 2015

Novel Padang Bulan, karya Andrea Hirata

Kalau guru-guru menulis saya mengatakan, karya fiksi yang bagus adalah yang membuat orang terkesan sejak kalimat pertamanya, maka novel ini sudah bisa dikatakan novel yang bagus karena saya terkesan sejak kalimat pertama, dan mata saya lekat hingga tak terasa habis satu bab.

Novel ini diawali dengan kisah yang mengharu biru, hingga air mata menitik. Namun saya bersyukur, meski dua tokoh central dalam novel ini memperjuangkan hidupnya mati-matian hingga jungkir balik, kisahnya berakhir dengan bahagia. Ini membuat saya makin percaya, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan.

Enong, diceritakan terlahir dari keluarga yang amat miskin. Takdir menempanya, hingga ia menjadi sekuat besi baja. Jika engkau merasa hidupmu tak pernah bahagia, lihatlah Enong ini, kehidupannya jauh, jauh lebih sulit dari yang mungkin engkau rasa.

Kisah sedih Enong bermula ketika ayahnya, tulang punggung di keluarganya, meninggal karena tertimbun tanah di tambang timah. Padahal saat itu, Ayahnya tengah memberikan kejutan kepada ibunya, Syalimah, sebuah sepeda, yang rencananya akan dipakai untuk bersama-sama pergi ke pasar malam, malam harinya. Betapa kebahagiaan itu bisa terenggut dalam beberapa detik saja.

Dan saya pun semakin mengimani ke-Mahakuasa-an Allah Ta’ala. Apa yang Allah kehendaki, tak ada yang tak mungkin terjadi.

Enong, gadis cilik yang baru duduk di kelas 6 SD itu, mesti merelakan pendidikannya. Ia harus mengubur mimpinya menjadi guru bahasa Inggris, pelajaran yang amat disukainya. Ia harus ikhlas keluar sekolah tanpa ijazah, karena sebagai anak sulung ia memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung.

Dan tahukah, ada yang lebih perih mengiris-iris. Jika ibunda Enong dihadiahi sepeda tanpa bisa menikmatinya dengan suaminya – sang lelaki penyayang – maka Enong, telah cukup bahagia dengan Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar: 1.000.000.000 Kata pemberian almarhum ayahnya. Jika sedang dilanda rindu dan sendu, ia membaca pesan yang dituliskan sang ayah di halaman depan.
Buku ini untuk anakku, Enong.
Kamus satu miliar kata.
Cukuplah untukmu sampai bisa menjadi guru bahasa Inggris seperti Ibu Nizam.
Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda,
Ayahmu

Suatu hari di Kantor Pos, Enong dewasa berjumpa dengan Ikal (Andrea Hirata). Tidak, kelanjutan kisah mereka tak seperti cerita kebanyakan, yang biasanya membuat sebuah pertemuan berakhir dengan percintaan. Karena sebuah kata dalam bahasa Inggris, Enong dan Ikal akhirnya dekat dan menjadi sahabat. Enong memang selalu kagum dengan orang yang pandai berbahasa Inggris. Dan kata yang mendekatkan mereka itu adalah; wound. Luka.

"Time heals every wound, waktu akan menyembuhkan setiap luka."

Saat bertemu dengan Enong ini, sesungguhnya Ikal juga sedang terluka. Bagaimana tidak? Satu-satunya perempuan yang dicintainya, A Ling, dikabarkan akan dilamar oleh seorang pria yang tinggi, tampan, dan multi talenta. Zinar, nama pria yang beruntung itu. Setidaknya, kabar inilah yang disampaikan oleh M. Nur, detektif di kampungnya.

Andrea Hirata pun berusaha menemui A Ling, namun yang dinanti-nanti tak pernah ada di rumah. Ia semakin pupus harapan. Rasa cemburu merasuki hatinya. Kalau cinta itu buta, rasanya memang benar adanya.

Entah, apakah kisah Ikal disini adalah kisah nyata yang dialami Andrea Hirata. Yang jelas, seperti di novelnya terdahulu – Tetralogi Laskar Pelangi – Andrea Hirata mengemas kepedihan dengan jenaka. Seperti di halaman 258, saya dibuat terpingkal-pingkal ketika membaca kisah Ikal yang dibonceng dua sahabatnya, M. Nur dan Enong, pasca peristiwa yang hampir merenggut nyawanya karena ia terobsesi menambah tinggi badannya barang empat senti.

Patah hati membuat Ikal semakin terpuruk. “Dan andai kata kesedihan karena putus cinta dapat dibasuh air hujan, aku mau berdiri di bawah hujan dan halilintar, sepuluh musim sekalipun.” – Hlm. 283

Di halaman berikutnya, memasuki mozaik (bab) ke-40, kepedihan Ikal terurai. Ternyata informasi yang diberikan detektif M. Nur selama ini salah. Nah, inilah yang saya maksud dengan happy ending itu. Pada akhirnya, setelah jungkir balik berusaha mengalahkan Nizar, hingga nyawa yang satu-satunya itu hampir melayang, Ikal kembali bisa tersenyum dan tidur dengan tenang.

Melalui Jose Rizal – Merpati pos yang telah dilatih M. Nur – detektif itu menyampaikan permohonan maafnya pada Ikal. Kasus antara Ikal vs A Ling telah usai. Namun Ikal masih harus menyelesaikan sebuah pe er dengan sang ayah. Akankah kemudian ayahanda Ikal menyetujui hubungannya dengan perempuan Tionghoa itu?

Ayah, pulanglah saja sendirian
Tinggalkan aku
Tinggalkan aku di Padang Bulan
Biarkan aku kasmaran”
(penggalan puisi Ada Komidi Putar di Padang Bulan)


Novel ini komplit. Kisah pilunya membuat menangis, dan kisah bahagianya membuat saya tertawa hingga mengeluarkan air mata. Kini saya penasaran dengan Novel Kedua Dwilogi Padang Bulan, Cinta di Dalam Gelas. 
Read More

Rezeki (Hoki) di 2015

Friday, December 4, 2015

Setuju ngga sih kalau tiap tahun ada hokinya sendiri-sendiri? Bukan percaya sama ramalan shio atau apa sih, tapi karena biasanya semua pencapaian kita diukur berdasarkan periode tahunan, yang dimulai di bulan Januari dan berakhir di bulan Desember, jadi secara tidak langsung kita mengelompokkan keberhasilan kita setiap satu tahun.

Biasanya nih, akhir tahun seperti ini, orang-orang mulai mengevaluasi diri untuk kemudian menetapkan target baru yang sering disebut resolusi. Untuk urusan resolusi, karena saya terlanjur nyemplung di dunia tulis-menulis, maka saya pun sudah membayangkan cita-cita saya di tahun depan, dan itu hanya boleh diketahui oleh Tuhan dan diri saya sendiri. :D

Di bidang kepenulisan, tampaknya saya seperti kura-kura. Laaammbbaaattt, hehehe...

2013
Tahun 2013 menjadi tahun awal saya belajar menulis. Di tahun itu bisa dibilang saya memulai semuanya dari nol. Lama-kelamaan, seiring dengan bertambahnya teman, saya mulai "mencuri" ilmu dari mereka.


2014
Tahun 2014, kemampuan menulis saya sedikit bertambah. Mungkin karena lingkungan saya memiliki andil besar sebagai "tukang kompor". Iya, lingkungan terdekat yang membuat saya terpacu untuk belajar adalah komunitas IIDN Solo. Alhamdulillah, karena "iri" melihat karya teman-teman berseliweran, saya semakin giat berusaha, dan hasilnya tulisan saya beberapa kali muncul di media cetak. Belum banyak sih, tapi saya sangat bersyukur, setidaknya apa yang saya pelajari sedikit membuahkan hasil.

Siapa sangka, saya yang kurang pandai bercanda, apalagi membuat tulisan dengan gaya humor, bisa tiga kali masuk di rubrik "Ah Tenane" Solopos? Dan kagetnya lagi, tulisan saya juga masuk di rubrik Gagasan Jawa Pos, walaupun katanya rubrik ini juga sudah tiada. :(

Keisengan saya menuliskan pengalaman seru bersama Amay juga bisa jadi uang lho. Tulisan saya sempat masuk di salah satu rubrik Majalah Reader's Digest. Sayangnya, majalah ini sudah tidak terbit lagi. :(



Di penghujung 2014, tulisan saya masuk di majalah Ummi. Wow banget sih, karena bagi saya susah sekali menembus media nasional itu. Yaa, walaupun isinya curhatan lagi, curhatan lagi, hihi.. Eh, bukan curhat ding, tapi sharing pengalaman. :p *laludijewer


2015
Tahun 2015, bisa dibilang ada kemunduran, karena belum satu pun tulisan saya muncul di media cetak seperti tahun sebelumnya. Hehe..tak apalah. Kalau mau beralibi, mungkin ini karena waktu menulis saya agak berkurang setelah kehadiran baby Aga.

Tapi seperti yang saya tulis di atas, mungkin tiap tahun ada hokinya sendiri-sendiri. Yap, tahun ini rezeki saya bukan ada di media cetak, tapi ada di beberapa kuis dan giveaway. :)

Malu sebenarnya nulis ini. Apalah saya ini dibanding dengan blogger-blogger senior yang dapatin uang berjeti-jeti atau gadget seri terbaru? Tapi sekali lagi, saya mensyukuri setiap pencapaian yang saya dapatkan. :)

Hoki di tahun 2015 diawali dengan hadiah kuis dari Tupperware. Kuis di twitter itu sebenarnya saya ikuti sambil iseng-iseng berhadiah. Eh, yang awalnya nggak mengharap apa-apa, malah saya jadi salah satu dari 5 pemenang yang terpilih mendapat bingkisan. Lumayan lah, dapat tempat makan. :D




Hoki yang ke-2. Waktu Emak-Emak Blogger bikin kuis di Instagram. Saya juga ketiban rezeki, hihi... Dua buah buku mendarat dengan cantik di rumah saya. Alhamdulillah lagi. :)




Trus-trus, saya juga dapet novel Rahasia Pelangi, dompet juga bros dari Mbak Riawani Elyta dan Mbak Shabrina WS. Oiya, dapat pulsa juga, hihi, alhamdulillah. Nikmat mana yang bisa kudustakan? :)




Masih ada lagi? Masiih... di twitter juga, saya memenangkan buku baru Mbak Anna Farida berjudul "Marriage with Heart" yang pernah saya review disini.





Ngga cuma buku, saya juga dapat hadiah giveaway berupa virgin coconut oil. Ini bener-bener mimpi yang jadi nyata, karena sebelumnya saya memang punya rencana untuk membeli VCO ini. Siapa sangka, keberuntungan berada di pihak saya? :)



Nah, yang terakhir ini, hadiah karena saya menulis tentang buku yang menginspirasi, Recto Verso. Kesukaan saya pada buku itu makin bertambah, karena dari tulisan itu saya dapat hadiah. :D


Jadi, kalau lihat orang lain punya hasil sendiri-sendiri, kita ngga boleh iri. Karena, yakin deh, rezeki itu sudah tertakar, tak akan tertukar. Yuk ah, mari kita sambut tahun depan dengan lebih Semangaaattt!!! 
Read More