Pagi
itu saya terburu-buru menyiapkan si sulung yang akan berangkat sekolah di TKIT
dekat rumah. Jam dinding sudah menunjuk angka tujuh lewat dua puluh menit,
padahal pelajaran akan dimulai sepuluh menit kemudian.
Si
bungsu yang baru berusia satu tahun saya serahkan pada suami, dan biasanya
setelah itu kami akan beralih posisi. Suami mengantarkan si sulung ke sekolah,
dan saya akan kembali memegang si bungsu.
Hari
itu, karena suami ada tugas tambahan di kantor, saya menjadi tergesa-gesa
menyiapkan semuanya. Setelah menyuapi dan memandikan si sulung, saya pun segera
memakaikannya seragam. Karena terburu-buru, saya pun melupakan sebuah
"ritual". Saya baru mengingatnya setelah si sulung mengingatkan,
"Mas Amay kok nggak
dido'akan?"
"Ah
iya, Mama lupa," jawab saya, dan sejurus kemudian saya pun melakukan hal
yang saya sebut ritual itu. Bibir saya kemudian mengucap do'a-do'a untuk
kebaikannya dan kebaikan adiknya.
Saya
kemudian iseng bertanya, "Memangnya Mas Amay suka kalau Mama do'akan?"
Dan jawabannya membuat saya termenung cukup lama. Ternyata, kebiasaan saya
berdo'a setiap kali memakaikan mereka baju selalu diingat, dan hari itu saya
menjadi tahu bahwa do'a-do'a saya dirindukan.
Dalam
sehari, setidaknya empat kali saya mengucap do'a ini diluar waktu shalat. Empat
waktu itu adalah saat memakaikan baju si sulung dan si bungsu, pagi dan sore.
Karena seringnya, si sulung sampai hapal kata-kata dalam do'a saya yang saya
lantunkan dalam Bahasa Indonesia.
Entah
sejak kapan saya memulai ritual ini. Jika saya tak salah mengingat, saya
memulainya ketika saya menyadari bahwa apa yang keluar dari bibir saya sebagai
seorang ibu, akan berpengaruh pada kehidupan anak-anak kelak. Sejak itu saya
mulai berhati-hati dalam berucap, karena saya meyakini bahwa setiap ucapan
adalah do'a, sehingga saya berusaha untuk selalu mengatakan hal-hal yang baik
tentang mereka.
Terlebih
ketika saya membaca kisah Syaikh Abdurrahman as Sudais. Imam besar itu ketika
kecil "dikutuk" oleh sang ibu hingga dapat menjadi seperti saat ini.
Konon saat itu sang ibu sedang menjamu tamu-tamunya, namun Sudais kecil mengacaukannya
setelah menaburkan debu pasir ke atas hidangan yang sudah disiapkan oleh ibunya
untuk para tamu. Sang ibu marah sambil berkata, "Pergi kamu! Biar kamu jadi
imam di Haramain!" Dari kisah itu saya kemudian belajar bahwa saat marah
pun kita harus mengucapkan hal-hal yang baik.
Saat
di dunia, anak membutuhkan do'a dari orang tuanya, terutama do'a seorang ibu.
Dan saat di akhirat, orang tua lah yang membutuhkan do'a anak-anaknya.
~-~
Tulisan ini dimuat di Majalah Hadila edisi bulan Januari 2016