Pentingnya Stimulasi dan Sentuhan Kasih Sayang untuk Perkembangan Anak Usia Dini

Sunday, September 8, 2019


Saya memiliki dua anak, yang pertama berusia delapan tahun dan yang kedua hampir lima tahun. Beberapa orang berkeyakinan bahwa usia mereka saat ini merupakan golden age yang tak akan terulang dan harus diisi semaksimal mungkin. Saya, menyadari bahwa masa kanak-kanak mereka tak akan kembali, akhirnya menjadi rajin menggali informasi, stimulasi seperti apa yang dibutuhkan untuk perkembangan anak usia dini.



Kaitannya dengan rentang usia, ada banyak sekali pendapat mengenai definisi anak usia dini. Pemerintah melalui UU Sisdiknas mengelompokkan anak dengan rentang usia 0-6 tahun sebagai anak usia dini. Namun, Soemiarti Patmonodewo mengutip pendapat tentang anak usia dini menurut Biecheler dan Snowman, yang berpendapat bahwa yang termasuk anak usia dini adalah anak usia prasekolah yaitu anak-anak yang berada di rentang usia 3-6 tahun.

Sementara itu, National Association for The Education of Young Children (NAEYC) berpendapat bahwa yang termasuk dalam “Early Childhood” atau anak usia dini adalah anak-anak yang baru lahir sampai dengan usia delapan tahun. Beberapa orang menyebut fase ini sebagai golden age karena masa ini sangat menentukan seperti apa mereka kelak, baik dari segi fisik, mental maupun kecerdasan. 

Dari berbagai definisi tadi, peneliti kemudian menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia 0-8 tahun yang sedang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental. Aspek pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini itu meliputi; aspek fisik, kognitif, sosioemosional, kreativitas, bahasa dan komunikasi.



Pak Munif Chatib dalam bukunya yang berjudul “Sekolahnya Manusia”, mengatakan bahwa kecerdasan seseorang adalah proses kerja otak seseorang sampai orang itu menemukan kondisi akhir terbaiknya. Kondisi akhir terbaik ini bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya. Beliau mencontohkan seorang penulis terkenal, J.K. Rowling, yang menemukan kondisi akhir terbaiknya di usia 43 tahun, yaitu pada saat beliau menulis novel Harry Potter.

Intinya, menurut beliau, seorang akan cerdas pada waktunya. Pendapat ini seolah bertolak belakang dengan istilah golden age pada anak usia dini. Namun demikian, beliau mengatakan bahwa dengan mengetahui multiple intelligence seawal mungkin, seseorang dapat menemukan kondisi akhir terbaiknya lebih cepat. Ini menegaskan bahwa stimulasi memang penting untuk diberikan sedini mungkin.

Tentu, dalam usaha untuk menemukan kecerdasannya, seseorang memerlukan bantuan dari lingkungannya, baik itu orangtua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan di suatu negara. 


Hadir dalam Proses Perkembangan Anak Usia Dini


Sebuah fakta yang harus kita percaya, bahwa orang-orang yang terkenal dengan karyanya pun memiliki banyak kelemahan. Lingkungan yang tidak melihat kelemahan itu sebagai kendala untuk terus belajar dan meraih sukses, adalah lingkungan yang baik, yang bisa mendorong proses belajar seorang calon tokoh untuk menemukan kondisi akhir terbaiknya secara optimal.

Hal ini sejalan dengan prinsip MI atau Multiple Intelligence, bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Tugas kita sebagai orangtua adalah mencari apa yang paling disukai dan dikuasai oleh anak-anak, sedini mungkin.

Bu Septi Peni Wulandari yang merupakan pendiri Institut Ibu Profesional (IIP), memiliki sebuah prinsip yang mendukung Multiple Intelligence ini, yaitu “Meninggikan gunung, (bukan) meratakan lembah”. Artinya, kita harus fokus pada kelebihan anak-anak kita, bukan kelemahan mereka.

Kembali ke kedua anak saya. Dua anak yang terlahir dari rahim yang sama, nyatanya memiliki karakter yang berbeda. 

Si sulung, sejak kecil memiliki motorik halus yang baik. Anak laki-laki berhati lembut ini suka menggambar dan berimajinasi. Saya senantiasa memberikan dukungan setiap kali ia membuat karya. Alhamdulillah, tahun lalu, ia berhasil membuat sebuah buku yang ia karang sendiri ceritanya dan ia gambar ilustrasinya. Papanya hanya sedikit memberikan arahan, dan membantu dalam proses pewarnaan dan layouting saja.


Meninggikan gunung, bukan meratakan lembah. Fokus pada apa yang disukai dan dikuasai anak-anak kita.



Untuk si bungsu yang saat ini masih duduk di bangku TK A, kami menemukan bahwa ia adalah teman yang baik, yang selalu sedia membela teman yang tersakiti. Ia adalah pahlawan bagi teman-temannya yang lemah. Ia rela memasang badan di garda terdepan. Keberaniannya tak padam meski bahaya mengancam.

Kesimpulan itu saya ambil berdasarkan cerita ustadzahnya di sekolah suatu hari. Saat seorang kakak kelas (TK B) memukul teman sekelasnya tanpa alasan, ia dengan tegas berkata, “Jangan pukul-pukul temanku! Nggak boleh!” 

Selanjutnya bisa ditebak, sang kakak kelas beralih memukulnya. Meski pada akhirnya anak kami ikut menangis dan mengadu pada sang guru, namun kami bangga padanya. Ia sudah melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.

Maka mari, sebagai orangtua, kita hadir di tengah anak-anak kita. Temani mereka dalam beraktivitas, iringi mereka dengan do’a, peluk mereka dengan penuh kasih sayang. Insya Allah, mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik, dan di masa depan, mereka akan menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang. Aamiin aamiin YRA.




3 comments

  1. Meskipun kita sibuk dengan pekerjaan, sebagaimana pun juga harus bisa hadir ya Bun

    ReplyDelete
  2. Peran orangtua itu memang sangat diperlukan nih ya Mbak oleh si kecil

    ReplyDelete
  3. Berani membela nih ya Mbak, demi temannya yang lain. Keren deh, takjub

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. Silakan tinggalkan komentar yang baik dan sopan. Komentar yang menyertakan link hidup, mohon maaf harus saya hapus. Semoga silaturrahminya membawa manfaat ya...