Triana Rahmawati, Rengkuh Jiwa Kelana, Hapuskan Stigma pada Penderita Gangguan Jiwa

Sunday, August 24, 2025


Triana Rahmawati, founder Griya Schizofren Solo
Triana Rahmawati, Griya Schizofren Solo

Halo-halo Bandung
Ibu kota Periangan
Halo-halo Bandung
Kota kenang-kenangan

Sudah lama beta
Tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
Mari Bung rebut kembali

Purworejo, suatu pagi di awal 2004. 

Jarum jam baru menunjuk ke angka 5. Matahari juga baru menyapukan cahayanya ke bumi. Namun, nyanyian lantang menggelegar sudah terdengar dari samping rumah. Nadanya pas, tidak goyah, meski dari suaranya terdengar ada emosi yang menyala. 

Kusingkap sedikit gorden di kamar, hendak melihat ke rumah sebelah. Dan seperti biasa, M sudah berdiri di bibir sumur sembari mengerek timba.

Bagi yang tak biasa melihat aksi M, mungkin akan khawatir kalau M akan jatuh. Tapi tidak kawan, ia punya keseimbangan tubuh yang sangat baik. Ia sudah hafal seberapa tinggi dinding sumur yang ia pijak, dan seberapa besar langkah yang perlu ia buat untuk turun nanti. 

Tidak setiap hari ia bernyanyi. Kadang malah ia berorasi. Di bibir sumur yang menjadi panggung favoritnya, ia memprotes kebijakan pemerintah, menyuarakan derita rakyat kecil, hingga menyumpah serapahi para koruptor. Meski label "kurang 1 ons", "ora genep (tidak normal)", dan lain sebagainya melekat di belakang namanya, ia tak peduli. Ia kini hidup di dunianya sendiri. 

M menjadi seperti ini sejak beberapa tahun silam. Menurut kabar burung yang beredar, penyebabnya adalah karena uang puluhan juta yang susah payah dikumpulkannya selama bertahun-tahun saat merantau di Bandung, hilang tak bersisa saat perjalanan pulang dengan kereta.

Sejak peristiwa itu, harapannya lenyap. Mimpinya berubah senyap. 

Sejak itu pula, ia seolah tak lagi menapaki dunia nyata. Sebagian ingatannya terbang entah kemana. Kami, para tetangga yang tinggal di kanan kirinya, hanya bisa menyaksikan dan menyimpulkan bahwa M mengalami depresi karena tak sanggup menerima takdir yang hinggap dalam hidupnya.

Puluhan tahun berlalu. 

Saya tak lagi tinggal di kota itu. Namun, saya dengar, kondisi M mulai membaik. Meski masih bergantung pada keluarganya, tetapi paling tidak ia sudah punya inisiatif mengumpulkan barang bekas sekadar untuk membeli rokok. Ia tak lagi berteriak-teriak seperti dahulu. Badannya pun lebih bersih dan berisi. Kini, sumur menjadi tempatnya untuk mandi, bukan lagi sebagai panggung orasi.

Semua ini tentu tak lepas dari peran keluarganya. Pelan tapi pasti, M bisa kembali menemukan bagian dirinya yang hilang dan melanjutkan hidup sebaik yang ia bisa.

Saya jadi ingat, seorang wanita hebat bernama Triana Rahmawati yang merupakan penggagas komunitas Griya Schizofren di Solo berkata, "Tempat terbaik seorang manusia adalah di tengah keluarganya." Apalagi pada Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dukungan dan perhatian penuh dari keluarga, tentu bisa menjadi salah satu obat paling manjur.

Kiprah Mbak Triana dalam Mengurai Stigma pada Penderita Gangguan Jiwa

Kegiatan di Griya Schizofren Solo


Bicara tentang Mbak Triana, beliau adalah seorang wanita luar biasa, yang punya kepedulian terhadap para ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa).

Bermula dari tahun 2012, saat kuliah, Mbak Tria menyadari bahwa di dekat kampusnya yaitu Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, terdapat satu tempat bernama Griya PMI Peduli yang menjadi ruang bernaungnya manusia yang tak termanusiakan oleh manusia-manusia lainnya. Di sana, tinggal puluhan orang yang mengalami gangguan jiwa, tetapi tersingkir dari keluarganya. 

Hal inilah yang kemudian menggugah hati perempuan yang di bibirnya selalu dihiasi senyuman itu. Hingga pada Oktober 2014, bersama kedua rekannya, Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari, yang juga merupakan mahasiswi Sosiologi di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Mbak Tria mendirikan Griya Schizofren.

Tujuannya mendirikan Griya Schizofren salah satunya adalah untuk menyediakan tempat yang aman dan manusiawi bagi para ODMK, agar mereka merasa keberadaannya diterima. Mbak Tria percaya bahwa dengan perawatan medis yang tepat dan tanpa stigma sosial yang melekat, ODMK dapat hidup secara normal dan produktif. 

Ini bisa dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Mbak Tria dan kawan-kawan volunteer bersama para ODMK di Griya Schizofren. Mereka melakukan berbagai kegiatan seperti bermain, mengaji, terapi musik dengan karaoke bersama, hingga terapi menggambar dan mewarnai. Bahkan, gambar-gambar yang telah dibuat oleh para ODMK ini kemudian diproses menjadi motif souvenir pernikahan. Luar biasa, ya? Ada saja idenya.

Kegiatan di Griya PMI Peduli


Jika teman-teman bertemu dengan Mbak Tria, teman-teman akan melihat energi positif yang selalu terpancar dari wajahnya. Bagaimana tidak? Jika kebanyakan orang takut berinteraksi dengan ODGJ, Mbak Tria malah menjadikan aktivitasnya di Griya Schizofren sebagai sarana healing. Bahkan katanya, "Saya belajar tentang kekuatan jiwa justru dari mereka. Dari orang-orang yang punya masalah kejiwaan."

Patutlah jika pada tahun 2017, Mbak Tria menjadi salah satu penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards kategori individu di bidang kesehatan.

Sebagai informasi, Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards adalah Apresiasi Astra bagi Anak Bangsa yang telah berkontribusi untuk mendukung terciptanya kehidupan berkelanjutan melalui bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan dan Teknologi, serta satu Kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

Bagaimana Cara Terbaik Berinteraksi dengan ODMK dan ODGJ?


Berinteraksi dengan ODGJ

Masalah kejiwaan adalah salah satu masalah sosial yang perlu mendapat perhatian. Konon, semakin maju suatu negara, semakin tinggi pula tingkat depresi penduduknya. Berdasarkan Survey Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, angka prevalensi depresi di Indonesia berada di angka 1,4% dari penduduk berusia 15 tahun ke atas.

Ada banyak faktor yang dapat memicu munculnya masalah kejiwaan, di antaranya karena faktor genetik, ketidakseimbangan hormon, pola asuh yang kurang tepat, adanya pengalaman traumatis, stres, juga faktor ekonomi seperti kemiskinan, kehilangan pekerjaan, dan masalah keuangan lainnya.

Beruntungnya, saat ini kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mental juga semakin meningkat. Bahkan, sekarang banyak penyanyi dan pencipta lagu yang syairnya berisi penguatan jiwa. Namun memang, tak bisa dimungkiri, sebagian orang masih menaruh stigma negatif pada para pejuang mental. Padahal, seperti halnya penyakit fisik, penyakit mental juga perlu mendapatkan penanganan.

Lalu, bagaimana cara terbaik untuk berinteraksi dengan ODMK dan ODGJ?

Menurut Mbak Tria, cara terbaik untuk berinteraksi dengan ODMK adalah dengan memperlakukannya senormal mungkin. "ODMK itu manusia, maka perlakukanlah ODMK seperti manusia pada umumnya," katanya. 

"Penyakit kejiwaan itu, yang membuat menderita itu bukan penyakitnya, tapi stigmanya. Stigma itu yang melukai (hati mereka). Maka dari itu, berikan mereka kesempatan yang sama." Tambahnya lagi.

Mbak Tria juga menyampaikan pesan untuk para family caregiver, yaitu orang yang merawat ODMK atau ODGJ di dalam keluarganya, bahwa menurut seorang psikolog bernama Froma Walsh, kunci ketahanan atau resiliensi keluarga dalam menghadapi masalah mental health setiap hari seumur hidup, ada 3:

1. Acceptance (Penerimaan), yaitu menerima kondisi atau situasi yang dihadapi keluarga.

2. Communication (Komunikasi), yaitu interaksi yang harmonis serta komunikasi yang efektif dan terbuka dalam keluarga, sebagai salah satu bentuk dukungan psikososial bagi keluarga yang mengalami masalah kejiwaan.

3. Spiritual (Keyakinan Spiritual), yaitu keyakinan dan pemaknaan hidup secara lebih mendalam untuk menemukan kekuatan dan harapan.

Berat, ya? Iya... Makanya kita butuh lebih banyak lagi orang-orang seperti Mbak Tria, yang peduli pada mereka yang terabaikan. Semoga ke depannya akan muncul lebih banyak lagi orang-orang berhati mulia seperti Mbak Tria. Sebab, kita butuh lebih banyak perangkul, bukan pemukul. Kita butuh banyak orang yang penyayang, bukan penyerang. 

Namun, di atas itu semua, semoga kita senantiasa sehat baik raga maupun jiwanya, ya... Aamiin.



1 comment

  1. Kisah M dan perjuangan Mbak Triana Rahmawati benar-benar membuka mata. Artikelnya Mbak Arin jadi mengingatkan kita bahwa di balik setiap masalah kesehatan mental ada manusia yang berharga. Stigma negatif memang bisa lebih melukai daripada penyakit itu sendiri. Pentingnya peran keluarga dan komunitas untuk merangkul mereka yang membutuhkan adalah pesan yang sangat kuat. Salut untuk Mbak Tria dan semua sukarelawan yang berdedikasi. Semoga kesadaran akan isu ini terus meningkat ❤😍

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. Silakan tinggalkan komentar yang baik dan sopan. Komentar yang menyertakan link hidup, mohon maaf harus saya hapus. Semoga silaturrahminya membawa manfaat ya...