Saat pulang kampung untuk Pilpres kemarin, saya bertemu dengan seorang tetangga yang pulang dari "repek" atau mencari kayu bakar untuk memasak. Saya berujar pada bapak, "Di jaman serba cepat kayak sekarang, kok masih ada yang repek ya, Pak?" Lalu jawab beliau, "Lha daripada buat beli gas, mahal, mending uangnya buat yang lain." Padahal memasak dengan tungku kayu bakar, jauh lebih susah dan lebih lama. Untuk membuat apinya menyala dengan baik saja butuh perjuangan yang bagi saya tak mudah. Saya membayangkan hidupnya dengan hidup saya sendiri. Mulai dari hal terkecil -menyalakan api-, hingga kecepatan memperoleh beragam informasi.
Pikiran saya pun masih terpaku pada tetangga saya itu. Apa saja yang ada di dalam benaknya ya? Tidakkah dia tahu bahwa ada dunia lain selain dunia nyata yang sedang ia titi? Pedulikah ia dengan pilpres yang baru saja ia jalani? Mengertikah ia dengan quick count, real count, KPU, atau apalah tetek bengek yang menyertai pemilu?
Ah, kadang saya berpikir, mungkin lebih enak menjalani hidup dengan ketidaktahuan. Mungkin lebih baik saya ikutan plonga-plongo saja menghadapi apa yang sedang ramai dibicarakan baik di dunia nyata maupun dunia maya. Mungkin lebih baik saya perbanyak baca Al-Qur'an saja daripada ikut-ikutan membaca media yang perlu diragukan sisi kenetralannya. Toh, manfaatnya akan lebih banyak saya rasakan sendiri. Untuk apa menekuni media yang justru menyulut prasangka? Untuk apa ikut-ikutan menyebar berita yang belum diketahui kebenarannya secara pasti. Khawatirnya, jika berita yang saya sebar mengandung fitnah, saya akan kecipratan dosanya. Duh, dosa yang sudah saya perbuat secara sengaja saja sudah menumpuk entah berapa bukit.
Akan halnya Pilpres, saya tidak sepenuhnya cuek. Saya telah menganalisa, menimbang, kemudian memutuskan mana yang bagi saya pantas memimpin negeri ini. Saya pun telah menunaikan "tugas" saya sebagai warga negara untuk ikut ambil bagian dalam menentukan masa depan bangsa ini di tanggal 9 Juli kemarin. Siapa yang akan menjadi Presiden nanti, itu sepenuhnya hak Allah. Dia telah menentukan, dan quick count bukanlah standar. Siapa Presiden Indonesia nanti, sudah ditetapkan takdirnya jauh-jauh hari, bahkan sebelum kita ada di bumi ini. Saya pribadi tetap akan legowo jika nantinya yang terpilih bukanlah Presiden pilihan saya.
Dan mulai hari ini, saya akan menyibukkan diri dengan urusan yang lebih bermanfaat. Bukan hanya untuk mempertajam debat. Hidup ini amatlah singkat, maka sia-sia saja adu mulut sampai keluar urat. Apa yang kita lihat, kita dengar, kita pikirkan, dan kita lakukan, bukankah ada pertanggungjawabannya di akhirat? :)