Disclaimer: Postingan ini hanya berdasarkan pendapat pribadi saja, karena menyesuaikan dengan pengalaman, pengamatan dan "kantong" saya sendiri. Yang tidak setuju, pliisss, saya jangan dibully yaa.. :D
Momen pernikahan adalah momen sakral yang tidak akan dilupakan. Karenanya, banyak pasangan yang mempersiapkan peristiwa yang (insya Allah) sekali seumur hidup ini dengan sebaik-baiknya. Saya pun begitu, inginnya, hehehe... Tapi karena banyak sekali kendala, sehingga momen pernikahan saya terselenggara secara sangat sederhana.
~~
Cerita dulu...
Saya memang pernah menjalin hubungan dengan pak suami semasa remaja dulu, ehem... Namun hubungan itu hanya berlangsung selama tujuh bulan saja. Selanjutnya, karena beberapa alasan, kami berpisah. Huhuhu, jangan ditanya seberapa sedihnya, karena seddiiihhh banget. Tapi ya, itu sudah keputusan saya.
Pasca berpisah, sesuai dengan komitmen saya sendiri, saya tidak berpacaran dengan laki-laki manapun. Yang deketin sih, ada beberapa, hehe...tapi saya selalu menahan diri, menahan perasaan, dan berjanji akan berpacaran setelah menikah saja. Ups, sok suci! :D
*Saya sangat sadar, saya masih sangat jauh dari sempurna. Saya pun perempuan normal, yang kadang merasa senang jika ada yang perhatian. :p
Nah, sudah lah yaa, ngomongin tentang perasaan. Singkat cerita, tiga tahun kemudian, saya kembali bertemu dengan mantan pacar. Sayangnya, saya bertemu dengannya saat sedang berduka. Iya, dia datang waktu ibu saya meninggal. ;(
Kalau ingat itu, saya sering tergugu. Mantan pacar saya ini adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil mencuri perhatian ibu saya. Saya ingat sekali waktu ibu saya bertanya, "Mas Yopie piye?", saat saya menyodorkan beberapa nama. Dalam hati saya, "Mas Yopie sekarang ada dimana aja aku nggak tau, gimana mau tau sekarang dia kepiye?" Tapi ya begitulah, kadang untuk bahagia, kita harus melewati beberapa cerita duka. Dan iya, pada akhirnya ibu saya juga yang mempertemukan kembali saya dengan si dia, meskipun pertemuan itu terjadi dalam suasana yang tidak saya inginkan.
Pasca pertemuan hari itu, kami tidak ada komunikasi, sampai suatu hari dia menemukan saya di friendster, kemudian facebook. Lalu saya pun mengirimkan SMS padanya, ke nomor handphone 11 digit yang saya hapal di luar kepala, meskipun saya berusaha melupakannya dengan menghapus nomor itu dari handphone saya.
Beberapa bulan kemudian, saya yang saat itu merantau ke Bogor, berniat pulang untuk menghadiri acara lamaran kakak kedua saya. Saat saya "pulang kampung" itulah, dia kembali berkunjung ke rumah, dan tanpa disangka, dengan sangat gentle, dia "meminta" saya pada bapak. Wow.
Bapak menyerahkan keputusan di tangan saya. Saya pun bingung, hiyahahaha...tapi langsung mengangguk. Jarang-jarang ada laki-laki yang berani meminta langsung pada orang tua, ya 'kan? Bagi saya, ini nilai plus. Setidaknya, saya tak perlu meragukan lagi sifat tanggung jawab yang ada pada dirinya.
Dua bulan kemudian, diputuskan acara lamaran keluarga, tepatnya di bulan Syawal. Dipilih waktu pas hari lebaran supaya keluarga besar bisa berkumpul. Dan di hari itu, pasukan dari Majalengka datang ke Purworejo. Rasanya, bahagiaaa...
Saat lamaran itu, kami (saya, tepatnya) memutuskan untuk menyegerakan pernikahan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Maklum, saya ini makhluq yang lemah iman.
Dan persiapan pernikahan dilakukan hanya dalam waktu dua bulan.
Terus terang, dalam dua bulan itu saya nggak ngerti mesti ngapain. Saya manut. Apalagi saat itu saya ada di Bogor, pernikahan dilangsungkan di Purworejo, Si Dia ada di Jogja, mertua di Bumiayu tapi suami harus ngurus surat-surat di Majalengka (temnpat tinggal asal).
Urusan Dekorasi, bapak yang mencarikan. Tata rias, saya pasrahkan pada Mbak Ika (Ika Puspitasari si blogger kece itu loh), biar dia yang mencarikan. Saya cuma pesan, bajunya nanti jangan yang ketat, kalau bisa jilbabnya yang menutup dada. Tapi ya gitu sih, ngga ada yang punya baju kayak gitu waktu itu.
Yang lucu, baju untuk akad nikah, dibuat tanpa diukur. "Gini aja, ambil gamis ibu yang warna kuning, panjang lengan sama kaki ditambahi aja 5 senti - 5 senti," pesan saya pada Mbak Ika via telepon, dari Bogor. Duh, simbakku ini jadi seksi riweuh deh...
Nah, untuk undangan, kebetulan tetangga Bulik di Bogor ada yang punya usaha cetak undangan. Jadi Bulik memesan undangan pada beliau ini, dan alhamdulillah dapat diskonan hampir 50%.
Untuk undangan ini, saya nggak mau neko-neko. Sempat terbersit ide untuk menampilkan foto, tapi alhamdulillah urung dilakukan. Note; Kami tidak melakukan foto pre-wedding yaa... Jadi yang rencananya mau ditampilkan itu foto kami yang kami buat sendiri-sendiri. Si Dia sempat ke-ide-an untuk bikin sketsa sebagai ganti foto, sih..tapi nggak jadi. Alasannya:
1. Undangan yang ada fotonya tuh, Mahal.
Dengan waktu yang mepet tanpa ada persiapan dana, maka saya harus berhemat. :p Tapi walaupun hemat juga, insya Allah undangan pernikahan kami bagus koq, hehe... 'Kan dapet harga diskon, jadi dengan biaya yang saya keluarkan, saya dapet undangan sebagus undangan dengan harga dua kali lipatnya. :)
2. Undangan yang ada fotonya tuh, Sayang.
Iya lah, sayang. Secantik dan setampan apapun aku dan pasanganku, dijamin ga akan ada yang nyimpen undangan yang ada foto kami di dalamnya. Pasti undangan itu akan jatuh ke tempat sampah juga. Hiks hiks, gak ngebayangin deh, foto aku saingan sama kecoa.
3. Malu. Hehe...saya termasuk orang yang malu ketika difoto. Tapi itu dulu. Sekarang? Saya ingin dan sedang berusaha mengembalikan rasa malu itu. :(
Jadi, begitulah, pernikahan yang dipersiapkan serba cepat dan dari jarak yang tak bisa dibilang dekat itu pun akhirnya terlaksana dengan hidmat. Meskipun sederhana, yang penting 'kan, "sah"nya. :D