#KarenaIbu Seperti Kepiting; Keras di Luar, Gurih dan Lembut di Dalam

Thursday, January 4, 2018


Beberapa malam yang lalu aku memimpikan ibu. Aku bangun dengan mata yang basah. Kuambil ponsel, kulihat jam, masih jam setengah 3 pagi. Sayangnya aku sedang berhalangan, sehingga urung mengerjakan shalat malam. 

Kenangan saat masih kanak-kanak kemudian membayang. Aku bersyukur, aku memiliki ibu seperti ibu. Seperti manusia lainnya, beliau memang banyak kurangnya. Namun, di mataku beliau adalah orang yang sempurna. 

ibu. semoga surga menjadi tempatmu

Karakterku setelah menjadi seorang ibu, kurasa sedikit ada kemiripan dengan beliau. Aku sering mengibaratkan diri sendiri bahwa aku ini seperti kepiting; keras di luar, namun gurih dan lembut di dalam. Ibu pun begitu.

Bukti lembutnya ibu pernah kutuliskan di sini.

Ya, meski aku dan ibu terkenal galak, tapi sesungguhnya kami punya banyak cinta. Galaknya ibu selalu ada tujuannya.

Jika ibu tak galak, mungkin aku tak akan pernah bisa membaca Al-Qur'an dengan baik. 

Sedikit cerita tentang masa kecilku dulu. Mbah -ibunya bapak- memang punya rutinitas mengajar anak-anak kecil mengaji di Pondok. Biasanya aku pun mengaji di sana setiap maghrib. Tapi entah kapan bermula, Mbah mengajariku dan Mas Pepi mengaji di rumah. Kegiatan itu rutin dilakukan setiap dzuhur tiba. 

Kalau Mbah sudah datang, aku dan Mas Pepi harus segera sholat, kemudian menyusul beliau yang sudah duduk manis di kursi tamu. Biasanya Mbah sudah berteman dengan segelas kopi, buatan Mbak Ita. Nah, seringnya, Aku dan Mas Pepi akan membaca Al-Qur'an sebanyak 1 'ain. 

Oya, tentang Mbah, aku pernah menuliskan kegigihan beliau saat menyeberangi sungai yang banjir demi bisa mengaji di desa seberang di kisah di balik mukena putih.

Lalu, apakah kegiatan mengajiku lancar jaya dan mulus-mulus saja?

Seperti seseorang yang jemu dengan rutinitasnya, aku pun pernah mengalami titik jenuh itu. Aku pernah sangat malas mengaji, karena tergoda untuk menonton TV di rumah tetangga yang sudah punya saluran lain selain TVRI dan TPI. Mas Pepi juga sama. Em, kayaknya ini ide Mas Pepi deh awalnya.

Nah, demi keinginan untuk bisa menonton TV di rumah tetangga itu, aku dan Mas Pepi pun sepakat untuk kabur selepas Dzuhur. Sesuai rencana, aku menyusun bantal dan guling lalu menyelimutinya hingga menyerupai tubuhku yang sedang tidur. Setelah itu, aku bersembunyi di WC yang terletak di luar rumah.

Bisa ditebak, ibu mencari-cari aku dan Mas Pepi sambil memanggil, "Arin! Pepi!". Aku dengar, beliau juga bertanya pada tetangga di depan rumah, ke mana gerangan kami berdua.

Beberapa saat kemudian, terdengar  suara Mas Pepi muncul dari tempat persembunyian. "Yah, dia menyerah..." batinku. Sampai kemudian aku kelelahan berdiri di WC, aku lalu menampakkan diri di hadapan ibu dan Mbah. Aku berterus terang, "Aku moh ngaji, bosan!" 

Tahu reaksi ibu seperti apa? Awalnya beliau lembut membujukku untuk mau mengaji lagi. Tapi karena aku tetap keras kepala, beliau pun naik darah. "Nek ora ngaji ki njuk arep dadi apa?" Ya, kalau nggak ngaji aku mau jadi apa nantinya? Jadi anak yang nggak taat sama Tuhannya? Apa gimana? Dan karena takut dengan teriakan beliau, aku akhirnya mengaji juga, meski dengan berderai air mata.


aku di gendongan ibu, tahun 1989

Sekarang, pada Amay pun aku melakukan hal yang sama. Bedanya, aku sendiri yang mengajari Amay mengaji. Aku selalu berdo'a, semoga kelak Amay mengamalkannya setiap hari, membaca Al-Qur'an dengan ringan hati. 

Aku pun sering berdo'a, semoga pahala jariyah mengalir kepada Mbah dan Ibu, orang yang mengajari dan memaksaku belajar membaca ayat-ayat cinta dari-Nya. Aamiin Yaa Robbal 'Aalamiin...



4 comments

  1. Al fatihah untuk Ibu. Aku dulu malah ngajinya bisa berkali-kali dalam sehari. Pulang sekolah, terus sekolah arab, habis magrib ngaji sama mbah, trus ngaji kitab...
    Tapi bersyukur lah dulu kita di didik belajar agama dg keras. Kalo enggak, ga tahu kita jadi apa sekarang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Alhamdulillah ya Bun.. semoga kopi buatanmu juga jadi amal yaa.. aamiin

      Mbah, Ibu, Uti, 3 perempuan luar biasa yang membentuk kita.

      Delete
  2. Wih, saya suka deh judulnya. Beneran teringat ibu.
    Saya turut mengaminkan doa mba tuk orang-orang di atas :)

    Sama mbak, saya juga diajari ngaji sama nenek (ibunya bapak).
    Tiap pulang saya nangis, ngadu ke ibu.
    Nenek itu keras banget, mending ngaji sama ibu, kata saya. Tapi ibu bilang, dia mau saya belajar ngaji sekaligus belajar karakter manusia. Jadi biar saya lebih bisa menghargai orang lain, terutama para guru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbah saya kalau sama anak lain galak, tapi kalau sama cucunya sendiri malah lembuuuut banget. Ya Allah, jadi kangen beliau. 😢

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung. Silakan tinggalkan komentar yang baik dan sopan. Komentar yang menyertakan link hidup, mohon maaf harus saya hapus. Semoga silaturrahminya membawa manfaat ya...