Sebut saya norak. Hehe... Tapi saya memang sedang norak-norak bergembira. Apa pasal? Setelah perjuangan yang paaannnjjaaannggg dan laaammmmaaaa, akhirnya saya bisa menakhlukkan satu media besar itu. Iyap, tulisan saya akhirnya bisa nangkring di rubrik Gado-Gado Majalah Femina.
Majalah Femina, foto oleh Mbak Rien DJ |
Selama ini saya hanya bisa iri, melihat tulisan teman-teman muncul di rubrik itu. Ini bukan soal honor yang memang cukup besar dibanding media yang lainnya ya, tapi ini soal mengukur kemampuan diri. Bisakah saya seperti teman-teman lain?
Memang, tulisan saya sebelumnya sudah pernah nangkring di beberapa media cetak seperti Jawa Pos dan Solo Pos. Ada yang mau baca? Ini tulisan saya di Jawa Pos untuk rubrik Gagasan: Bersahabat dengan Bumbu Dapur, dan ini salah satu cerita lucu saya yang dimuat di Rubrik Ah Tenane, Solo Pos, yang menggunakan tokoh utama bernama Jon Koplo.
Tak hanya itu, cerita lucu tentang Amay pun pernah saya kirimkan ke Majalah Reader's Digest Indonesia, yang masih satu grup dengan Majalah Femina. Sayangnya, sejak Oktober 2015 lalu, majalah ini hanya bisa kita baca dalam versi digital. :(
Menulis untuk Majalah Femina ini cukup sulit bagi saya, karena hingga belasan kali mengirim tulisan, nyatanya saya kurang bisa menangkap selera Majalah ini. Belasan ide, belasan judul sudah saya kirimkan, namun tak satu pun berhasil memenuhi syarat. Padahal untuk media lain, terkadang 1-2 kali kirim saja, Alhamdulillah tulisan saya bisa sesuai dengan karakter mereka.
Baca Tiada Alasan Tak Menanam, tulisan saya yang dimuat di Majalah Ummi. Juga, Do'a yang Dinantikan, yang dimuat di Majalah Hadila.
Memang, tulisan saya sebelumnya sudah pernah nangkring di beberapa media cetak seperti Jawa Pos dan Solo Pos. Ada yang mau baca? Ini tulisan saya di Jawa Pos untuk rubrik Gagasan: Bersahabat dengan Bumbu Dapur, dan ini salah satu cerita lucu saya yang dimuat di Rubrik Ah Tenane, Solo Pos, yang menggunakan tokoh utama bernama Jon Koplo.
Tak hanya itu, cerita lucu tentang Amay pun pernah saya kirimkan ke Majalah Reader's Digest Indonesia, yang masih satu grup dengan Majalah Femina. Sayangnya, sejak Oktober 2015 lalu, majalah ini hanya bisa kita baca dalam versi digital. :(
Haha Hihi di Reader's Digest Indonesia |
Menulis untuk Majalah Femina ini cukup sulit bagi saya, karena hingga belasan kali mengirim tulisan, nyatanya saya kurang bisa menangkap selera Majalah ini. Belasan ide, belasan judul sudah saya kirimkan, namun tak satu pun berhasil memenuhi syarat. Padahal untuk media lain, terkadang 1-2 kali kirim saja, Alhamdulillah tulisan saya bisa sesuai dengan karakter mereka.
Baca Tiada Alasan Tak Menanam, tulisan saya yang dimuat di Majalah Ummi. Juga, Do'a yang Dinantikan, yang dimuat di Majalah Hadila.
Dan tibalah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya dihubungi oleh Mbak Ratna dari Femina melalui SMS, yang menanyakan apakah tulisan saya berjudul "Cilok Setengah Juta" adalah karya asli saya dan belum pernah diterbitkan? Alhamdulillah, secercah harapan muncul. Saya tidak bisa berhenti tersenyum. Saya pun mengirimkan berkas-berkas yang diminta, via email dan via pos.
Dan hari itu tiba. Hari dimana tulisan saya muncul di edisi 25 tahun 2016. Rasanya penasaran. Persis seperti seorang ibu yang hendak melahirkan, seperti apa rupa anakku?
Tapi rasa penasaran itu mesti ditahan, karena saya belum bisa menemukan majalah itu di tukang koran sekitaran Colomadu, Karanganyar. Hiks... Mau ke toko buku, tapi suami belum sempat mengantar. Iya, saya kemana-mana memang mesti sama beliau, hehe... Tapi Alhamdulillah, Allah menolong saya melalui tangan Mbak Saptorini alias Mbak Rien DJ yang bersedia mencarikan majalah itu di toko langganannya. Alhamdulillah Alhamdulillah.. :)
Hingga kini sebenarnya saya belum melihat secara langsung bagaimana penampakan tulisan saya, karena majalahnya masih di Mbak Rien. Tapi saya cukup puas, melihat judul besar yang terpampang disana, dan nama saya yang tertulis di ujung kanan bawah. :)
tulisan saya di Gado-Gado Femina |
Buat yang penasaran, ini adalah tulisan saya, versi asli yang saya kirimkan tanggal 5 Januari 2016.
Cilok
Setengah Juta
“Mas, mau udang, boleh?” pinta
saya.
“Tapi dirimu kan alergi udang.
Jangan aneh-aneh, ah!” Jawab suami saya, tegas.
Tapi karena tak tahan melihat wajah
saya yang begitu ingin menyantap makanan itu, suami saya akhirnya mengambilkan setusuk
sate udang untuk saya yang sedang hamil muda, lengkap dengan segelas susu dan
air kelapa muda. Dua minuman itu untuk penawar racun, katanya.
Ajaib, kondisi hamil membuat saya
tak pantang memakan makanan yang biasanya menimbulkan gatal di sekujur tubuh
itu. Tanpa meminum susu dan air kelapa muda pun, tubuh saya tidak mengalami
reaksi alergi. Anehnya, setelah bayi saya lahir, saya kembali alergi dengan
udang, kepiting, dan makanan laut lainnya.
Kebanyakan ibu-ibu yang sedang
hamil muda memang mengalami yang namanya ngidam. Bahkan pertanyaan “ngidam apa
nih?”, termasuk yang paling sering dilontarkan.
Orang ngidam itu macam-macam. Ada yang
ingin melakukan sesuatu yang biasanya terdengar aneh, ada juga yang ingin makan
makanan yang tak biasa.
Tetangga saya, saat hamil hanya
ingin makan sayur nangka muda (sayur gori) saja. Dan jika dia sudah memasaknya,
orang lain tidak boleh ada yang ikut mencicipi. Haha, lucu sih kedengarannya, timbang sayur gori doang. Tapi itu nyata, dan dia selalu tertawa jika mengingatnya.
Salah satu orang tua murid di
sekolah anak saya lain lagi, saat hamil dia tidak suka memakai alas kaki. Entah
itu sandal atau sepatu. Dan kini anaknya berperilaku persis seperti sang ibu.
Kalau kami sedang menjemput anak-anak saat pulang sekolah, biasanya anak ini
langsung berlari ke arah ibunya sambil menjinjing sepatu dengan kedua
tangannya. Malah pernah, disaat anak-anak lain sedang berdo'a di dalam kelas,
dia berlari keluar sambil menjinjing sepatunya menuju sang ibu yang menunggunya,
kemudian dia kembali lagi ke kelasnya dan melanjutkan berdo'a sebelum pulang.
“Yang paling awet dari anak ini
tuh, sepatunya. Gimana enggak, dipakainya cuma pas berangkat aja.” Kata si ibu
sembari tertawa. Terkadang memang kebiasaan kita saat hamil terbawa oleh anak
kita.
Berbeda dengan tetangga dan ibu
dari teman anak saya tadi, saya pun mengalami ngidam yang aneh saat hamil anak
pertama. Selain jadi kebal terhadap udang, tiba-tiba saya merasa sangat ingin
makan cilok. Ini gara-gara sebuah tayangan televisi yang sedang menayangkan
makanan-makanan lezat berbahan aci. Hmmm, tampaknya ibu hamil mesti
berhati-hati ketika menonton televisi, karena bisa-bisa perasaan ngidam muncul
tiba-tiba setelah melihat sebuah tayangan. J
Maka ketika mama mertua telepon dan
bertanya kondisi kehamilan saya, saya mengatakan bahwa saya ingin sekali makan
cilok. Demi calon cucunya, beliau sampai menelepon kenalannya di Solo untuk
menanyakan dimana kira-kira penjual cilok berada, karena saat itu saya dan suami
memang baru dua bulan tinggal di kota Bengawan itu, sehingga belum paham
tempat-tempat jajanan. Dan sialnya, saat itu bulan puasa sehingga pedagang
cilok yang biasa mangkal di sekolah-sekolah libur berjualan.
Akhirnya, karena hasrat makan cilok
tak kunjung terpenuhi, mama mertua datang mengunjungi kami. Beliau bersama dua
adik ipar datang ke Solo dengan menumpang travel dari Purwokerto. Kebetulan
saat itu ayah mertua sedang dinas di Bumiayu.
Ketika datang, beliau membawakan
saya cilok, lengkap dengan bumbu kacang, saos dan kecap.
Sambil menyuruh saya menyantap
oleh-oleh paling spesial itu, beliau berkata, "Ini cilok istimewa ya, Rin,
soalnya harganya setengah juta." Haha..seketika itu kami semua tertawa.
Iya, harganya setengah juta karena ongkos travel dari Purwokerto ke Solo untuk
3 orang hampir setengah juta. Ada-ada saja. J
*tulisan yang terdapat di Majalah Femina, telah mengalami sedikit pengeditan. :)